kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Begini kesiapan sejumlah perusahaan migas hadapi 2020


Minggu, 01 Desember 2019 / 21:40 WIB
Begini kesiapan sejumlah perusahaan migas hadapi 2020
ILUSTRASI. Petugas melintas di depan jaringan pipa minyak di kilang unit pengolahan (Refinery Unit) V, Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (23/10/2019). Refinery Unit V memiliki kapasitas pengolahan minyak mentah 260 MBSD setara 25 persen dari kapasitas 'intake' nasi


Reporter: Filemon Agung | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang tutup tahun, sejumlah perusahaan migas mulai menyiapkan strategi demi raihan optimal di 2020 mendatang.

Presiden Direktur Pertamina EP Nanang Abdul Manaf menuturkan, pada tahun 2020 mendatang perusahaan menargetkan produksi gas sebesar 85 ribu BOPD dan gas sebesar 925 mmscfd.

Baca Juga: Bos Medco Energi Hilmi Panigoro buka suara soal opsi cost recovery atau gross split

"Untuk itu pemboran sumur eksplorasi sebanyak 10 sumur dan sumur pengembangan sebanyak 100 sumur," terang Nanang ketika dihubungi Kontan.co.id, Minggu (1/12).

Nanang mengaku pihaknya optimistis dengan target yang dicanangkan. Pertamina EP berharap para lapangan-lapangan yang baru dikembangkan serta melalui optimalisasi Plan of Development sejumlah lapangan seperti Jati Asri, Bambu Besar serta Akasia Bagus.

"Semuanya itu di Jawa Barat, dari Sumatera Selatan semoga struktur Tundan bisa mulai alirkan gas sekitar 10 mmscfd," terang Nanang.

Baca Juga: Fleksibilitas kontrak migas tengah dikaji, pemerintah akan tampung masukan investor

Lebih jauh Nanang mengungkapkan, pada tahun 2020, laju penurunan menjadi tantangan tersendiri. Pertamina EP memproyeksi decline rate masih berkisar di angka 30%. Selain itu, overlap area migas dan kehutanan turut menjadi tantangan bagi Pertamina EP.

Menanggapi opsi Kementerian ESDM yang membuka kembali opsi skema bagi hasil cost recovery, Nanang menilai hal ini akan berdampak bagi industri migas.

"Fleksibilitas seperti ini akan disambut positif pelaku industri, sebab investor memiliki pilihan menyesuaikan dengan kondisi tertentu," tutur Nanang.

Baca Juga: Kaji fleksibilitas skema investasi migas, ESDM timbang lagi skema cost recovery

Ia pun memastikan Pertamina tetap akan mengadopsi cost recovery hingga kontrak selesai pada 2035 mendatang.

Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Hulu Energi (PHE) Meidawati bilang pada 2020 mendatang pihaknya menargetkan produksi minyak sebesar 84 ribu bopd dan gas sebesar 822 mmscfd.

"Pengeboran sumur eksplorasi sebanyak 6 sumur, pengembangan 51 sumur dan workover sebanyak 50 sumur," ungkap Meidawati kepada Kontan.co.id, Minggu (1/12).

Baca Juga: Kejar laba US$ 2,2 miliar di tahun depan, begini strategi Pertamina

Meidawati menambahkan, ada sejumlah tantangan yang menanti antara lain fluktuasi harga minyak yang diprediksi akan membuat tingkatan supply lebih besar daripada permintaan.

Selain itu, perubahan pasar gas sebut Meidawati berpotensi menurunkan harga gas secara global. Menanggapi fleksibilitas kontrak bagi hasil antara gross split dan cost recovery, Meidawati mengungkapkan PHE secara prinsip akan mendukung keputusan pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM.

Dihubungi terpisah, meskipun enggan mengungkapkan soal rencana dan target di 2020, ExxonMobil Indonesia mengaku siap menjalin kerja sama dengan pemerintah.

Baca Juga: Pertamina Bakal Menggenjot Sektor Hulu Migas

"Kami terus bekerja sama dengan Pemerintah untuk memaksimalkan produksi guna membantu memenuhi pertumbuhan kebutuhan energi Indonesia dengan aman dan andal," jelas Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil Indonesia Azi N. Alam kepada Kontan.co.id, Minggu (1/12).

Sementara itu, Pengamat Energi dari Reformer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, ada harapan yang lebih baik dari sisi internal (pemerintah) di tahun 2020 mendatang.

"Sepintas Menteri ESDM saat ini lebih akomodatif dan menyentuh akar masalah," ujar Komaidi, Minggu (1/12).

Baca Juga: Pertamina terus upayakan pengeboran awal di Blok Rokan

Mengutip catatan Kontan.co.id, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto bilang sejauh ini ada dua tantangan yang dihadapi industri migas. Tantangannya yaitu rendahnya stimulan dalam investasi.

"Selain itu, adanya pergeseran cekungan ke timur, ke laut dalam serta aturan yang tumpang tindih," ungkap Dwi ditemui di Kantor SKK Migas, beberapa waktu lalu.

Dwi menuturkan, SKK Migas berupaya mendorong produksi melalui sejumlah upaya seperti pelaksanaan Enhanced Oil Recovery (EOR) dan memperbanyak eksplorasi. Langkah-langkah ini juga dirasa perlu sebagai upaya dalam menahan laju penurunan produksi alamiah.

Baca Juga: Pertamina investasikan US$ 3,72 miliar untuk sektor hulu migas

"Kita harap EOR bisa langsung berpengaruh pada 2023 dan kemudian eksplorasi," ujar Dwi. Masih menurut Dwi, kegiatan eksplorasi di Indonesia tertinggal 10 tahun dibandingkan negara lain, khususnya dalam hal manajemen produksi.

Adapun, Indonesia baru mulai menggeliatkan eksplorasi pada tahun 2017. Lebih jauh Dwi menjelaskan, pemerintah memiliki sokongan dana yang cukup dalam melakukan eksplorasi.

Saat ini, dana yang tersedia sebesar US$ 2,4 juta atau setara Rp 30 triliun. Selain sejumlah upaya di atas, Dwi menambahkan, pemerintah rutin melakukan roadshow atau kunjungan ke sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×