kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,31   7,91   0.88%
  • EMAS1.354.000 1,65%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Begini perkembangan megaproyek Pertamina, dari yang tertunda hingga kehilangan mitra


Jumat, 05 Juni 2020 / 16:46 WIB
Begini perkembangan megaproyek Pertamina, dari yang tertunda hingga kehilangan mitra
ILUSTRASI. Pekerja beraktivitas di kawasan kilang PT. Pertamina RU (Refinery Unit) IV Cilacap, Jawa Tengah


Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) masih terus berupaya menjaga kelangsungan enam megaproyek miliknya yang terdiri dari empat Refinery Development Master Plan (RDMP) dan dua Grass Root Refinery (GRR).

Direktur Megaproyek & Petrokimia Pertamina Ignatius Tallulembang menjelaskan, nilai investasi dari keseluruhan proyek tersebut mencapai sekitar US$ 48 miliar.

Selain nilai investasi jumbo, RDMP dan GRR juga bisa menyediakan lapangan pekerjaan untuk sekitar 130.000 pekerja saat konstruksi dan sekitar 10.000 orang saat operasi.

Baca Juga: CPC Taiwan investasi di Balongan, Pertamina: Diskusi dengan Adnoc tetap lanjut

Berikut ini perkembangan megaproyek Pertamina: 

Kilang Balongan

Ignatius menjelaskan, proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balongan terdiri dari tiga fase.

"Fase satu dan dua itu upgrading, penambahan kapasitas. Disitu ada produk yang bisa kita proses jadi petrokimia," kata dia dalam konferensi pers virtual, Jumat (5/6).

Ignatius melanjutkan, pengerjaan fase satu dan dua ditargetkan rampung di 2022 mendatang. Adapun pada fase ketiga, Pertamina dan Adnoc bakal membangun kilang yang nantinya diintegrasikan dengan Petrokimia yang merupakan kerjasama dengan CPC Taiwan.

Saat ini, fase satu tengah dalam tahapan Front End Engineering Design (FEED), sementara fase dua dan fase tiga masih dalam tahapan studi.

Tak menutup kemungkinan pada Agustus mendatang, Pertamina bakal melakukan diskusi dengan kedua belah pihak menyoal integrasi kilang crude ke petrokimia.

Kilang Balikpapan

Ignatius menuturkan, realisasi pengerjaan Kilang Balikpapan per 24 Mei 2020 tercatat baru 17%. "Tahapan konstruksi dan 2023 ditargetkan beroperasi," kata dia. 

Sekedar informasi, kehadiran Kilang Balikpapan bakal meningkatkan kapasitas pengolahan kilang dari 260.000 barel per hari menjadi 360.000 barel per hari serta meningkatkan kualitas produk BBM dari setara Euro II menjadi setara Euro V. 

Proyek RDMP Balikpapan juga disinergikan dengan pembangunan New Crude Lawe-Lawe Tankage Facility dengan kapasitas penyimpanan sebesar 2 juta barel.

Baca Juga: Kebijakan energi perlu terintegrasi agar defisit terjaga

Kilang Bontang

Pertamina memutuskan untuk menghentikan sementara rencana pembangunan Grass Root Refinery (GRR) alias Kilang Bontang.

Ignatius bilang, pasca berhentinya kerjasama dengan partner, Pertamina memilih untuk menghentikan pengembangan proyek dengan nilai investasi mencapai US$ 15 miliar ini. "Bontang sempat jalan, hanya saja partner tidak bisa lanjutkan, kami hold dulu, kami kaji, supply demand seperti apa," ungkap dia.

Asal tahu saja, sebelumnya dalam proyek GRR Bontang Pertamina bakal bekerjasama dengan perusahaan migas asal Oman, Overseas Oil and Gas LLC (OOG).

Sayangnya kerjasama tersebut tak mencapai kata sepakat. Pertamina kemudian sempat menyampaikan opsi pemindahan lokasi proyek pada medio Maret lalu. Adapun, dua lokasi baru yang diproyeksikan yakni daerah Arun, Aceh dan Kuala Tanjung, Sumatra Utara. 

Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Heru Setyawan bilang, opsi-opsi lokasi yang ada kini tengah dalam kajian perusahaan pelat merah tersebut.

"Ada rencana memindahkan Kilang Bontang, kan ada beberapa lokasi sebenarnya, Bontang, Kuala Tanjung dan Arun," jelas Heru kala itu.

Heru menambahkan, Pertamina menilai Kuala Tanjung sebagai lokasi yang tepat jika nantinya upaya pemindahan proyek terjadi. Menurutnya, lokasi Kuala Tanjung disokong oleh ketersediaan pasar dan lahan.

"Karena (Kuala Tanjung) dekat dengan market, lahannya ada, kan di situ pasar internasional terus di Sumatra juga," jelas Heru.

Kilang Cilacap

Pertamina memastikan proyek Refinery Development Master Plant (RDMP) Kilang Cilacap tak lagi menggandeng Saudi Aramco sebagai partner. Ignatius menjelaskan, alasan Saudi Aramco mundur karena telah terjadi pemunduran jadwal proyek beberapa kali.

"Aramco menyadari betul untuk Indonesia bahwa RDMP Cilacap sangat penting untuk segera dibuat. Makanya Aramco melalui CEOnya persilahkan Pertamina jalankan Cilacap ini. Aramco masih fokus ke yang lain, ya silahkan untuk melanjutkan sendiri," tutur Ignatius.

Baca Juga: Bakal garap Blok Rokan, Pertamina butuh figur mumpuni dan kompeten

Ia pun memastikan, Pertamina masih dalam proses pencarian partner baru untuk proyek yang diprediksi mampu meningkatkan kapasitas kilang menjadi 2 juta barel per hari ini.

"Kami sedang dalam proses mencari partner baru. Lahan sudah clear. Sambil melihat peluang apa yang kami bisa bangun lebih dahulu sambil nunggu partner," terang Ignatius.

Disisi lain, Pertamina merencanakan percepatan pembangunan kilang hijau di Kilang Cilacap. Ignatius bahkan menilai proyek biorefinery ini bisa rampung di 2022 mendatang.

"Biorefinery sifatnya modifikasi, untuk Cilacap mungkin 2022 yang biorefinery skala kecil sudah bisa beroperasi dan kita ada rencana perbaikan kualitas untuk mengolah BBM standar Euro V," jelas Ignatius.

Kilang Tuban

Nah, untuk Kilang Tuban, kendala lahan yang sempat menghantui jalannya proyek secara perlahan berhasil di atasi. "Tuban terus berjalan, termasuk pengadaan lahan. Untuk lahan dengan KLHK sudah clear 100%," ujar Ignatius.

Kendati demikian, masih tersisa sekitar 46% lahan milik masyarakat yang harus dituntaskan. Pertamina pun menargetkan pada September nanti pembeliaan lahan dapat rampung. "Kegiatan engineering juga terus berjalan namun karena lockdown agak slow sedikit," jelas Ignatius.

Sekedar informasi, proyek investasi di Tuban termasuk dalam daftar Rp 708 triliun investasi mangkrak yang dicatatkan oleh BKPM. Sejak kerja sama antara PT Pertamina (Persero) dan Rosneft terbentuk di tahun 2017, proyek pembangunan tertunda lama yang salah satunya disebabkan kendala pembebasan lahan.

Baca Juga: Pertamina: Rencana penambahan SPBU tetap berjalan

Kilang Dumai

Sebelumnya, investor Korea Selatan bersama Pertamina dan PT Nindya Karya (Persero) menandatangani pengembangan proyek proyek kilang Dumai senilai US$1,5 miliar atau setara Rp 22 triliun, pada 22 Mei 2020 silam. 

Kendati demikian, Ignatius memastikan Head of Agreement (HoA) yang ditandatangani barulah tahapan awal dan belum mengikat.

"Masih kajian bersama sisi proyek, lingkup dan apa saja yg dikembangkan. Masih tahap awal banget. Belum mengikat. Masih tahapan awal dgn partner Korea," jelas Ignatius.

Baca Juga: Inilah protokol baru transaksi di SPBU Pertamina, mulai dari cashless, uang pas, dll

Menanggapi pengembangan keenam megaproyek tersebut, Ignatius memastikan seluruhnya masih masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).

Disisi lain, Pertamina memproyeksikan proyek-proyek ini bakal berkontribusi terhadap devisa negara sebesar US$ 11 miliar per tahun dengan rincian proyek RDMP sebesar US$ 8 miliar per tahun dan GRR US$ 3 miliar per tahun.

"Dampak lainnya berupa peningkatan pajak setelah beroperasi nantinya, total pajaknya mencapai US$ 128 miliar, karena ada tax holiday dll menjadi US$ 109 miliar," tandas Ignatius.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×