Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah bakal memberikan sejumlah insentif dan skema harga yang lebih kompetitif dalam pengembangan kelistrikan berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Kebijakan itu bakal tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) yang ditargetkan sudah bisa rampung sebelum akhir tahun ini.
Direktur Jenderal EBT dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Sutijastoto mengungkapkan, insentif tersebut juga akan diberikan untuk kelistrikan yang bersumber dari panas bumi. Salah satu insentif yang disoroti adalah pemberian kompensasi oleh pemerintah atas eksplorasi panas bumi.
Baca Juga: Skema cost reimbursment disiapkan untuk panas bumi, bisa kurangi risiko eksplorasi
Dengan begitu, risiko eksplorasi dan pengembangan proyek bakal lebih kecil dan harga listrik dari panas bumi dapat lebih kompetitif dengan tetap memberikan keekonomian bisnis bagi pengembang. Hal itu juga diharapkan dapat berimbas pada akses yang lebih terbuka untuk pendanaan murah bagi proyek panas bumi.
"Nanti di panas bumi untuk mengurangi risiko, itu juga ada kompensasi untuk eksplorasi, supaya harga kepada PLN menjadi lebih baik," ungkap Sutijastoto dalam konferensi pers virtual yang digelar Selasa (28/7).
Lebih jauh, dia memberikan gambaran bahwa dengan adanya kompensasi eksplorasi dan juga insentif lainnya, seperti tax holiday, maka harga listrik untuk panas bumi diproyeksikan bisa turun sekitar US$ 2,5 - US$ 4 per kWh.
Sutijastoto memang tidak memaparkan dengan detail bagaimana insentif dan kompensasi eksplorasi itu bakal diberikan. Yang jelas, pemerintah bakal membentuk Tim Teknis untuk melakukan pengolahan dan pengawasan terhadap pemberian kompensasi atas eksplorasi panas bumi tersebut.
Dia menambahkan, tim teknis tersebut terdiri dari Direktorat Panas Bumi Kementerian ESDM yang bekerjasama dengan Badan Geologi, dan unsur profesional seperti dari perguruan tinggi. "Untuk mengawasi itu, kita ada tim teknis dari Ditjen EBTKE, Direktorat Panas Bumi bekerjasama dengan Badan Geologi. Nanti kita juga di backup tenaga ahli profesional dari perguruan tinggi setempat, misalnya UI, ITB." jelasnya.
Sutijastoto pun berharap, Perpres ini dapat segera terbit dan lekas diberlakukan. "Saya tidak bisa memastikan bahwa ini kapan (terbit) yang penting as soon as possible, sesegera mungkin bisa selesai. Kita harapkan nggak sampai akhir tahun ini," katanya.
Baca Juga: Mirip dengan migas, pengembangan WK Panas Bumi akan menggunakan skema cost recovery
Yang jelas, dia menyebut bahwa usulan insentif untuk pengembangan listrik EBT secara umum, maupun kompensasi eksplorasi bagi listrik panas bumi telah mendapatkan lampu hijau dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. "Alhamdulillah kita sudah komunikasi dengan Kemenkeu, BKF sudah memberikan green line untuk insentif-insentif ini," pungkasnya.
Asal tahu saja, merujuk pada paparan Sutijastoto, pengembangan listrik EBT memang perlu akselerasi dan dukungan regulasi. Pasalnya, dari potensi listrik EBT sekitar 442 Gigawatt (GW), yang sudah terimplementasi baru sebesar 2,4% atau 10,4 GW.
Untuk mencapai target bauran energi 23% pada tahun 2025 pun masih terdapat selisih yang cukup besar dari realiasi sekarang dan target dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Hingga Mei 2020, realisasi bauran listrik EBT baru sekitar 14,21% dari produksi listrik nasional. Panas bumi menyumbang produksi paling banyak dari pembangkit jenis EBT dengan porsi 8,17%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News