Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Forum tahunan Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) resmi dibuka di Bali pada 29–31 Oktober 2025, dengan PT Bio Farma (Persero) bertindak sebagai co-host.
Pertemuan ini menjadi ajang strategis bagi negara-negara berkembang untuk memperkuat posisi mereka dalam industri vaksin global yang kian kompetitif.
Acara yang berlangsung di The Meru, Sanur, dihadiri lebih dari 420 peserta dari 46 produsen vaksin di 17 negara, serta lembaga internasional seperti WHO, UNICEF, GAVI, CEPI, PATH, CHAI, dan Gates Foundation.
Dengan tema “Advancing Innovation and Building a Resilient Vaccine Ecosystem for a Safer World,” forum ini membahas arah baru industri vaksin, termasuk alih teknologi, pembiayaan riset, dan model bisnis berkelanjutan untuk memperkuat rantai pasok global.
Baca Juga: Bio Farma Perkuat Kiprah Global, Perluas Ekspor Vaksin ke 150 Negara
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam sambutan virtualnya menilai negara berkembang kini memegang peran penting dalam masa depan industri vaksin dunia.
Ia menekankan bahwa memperkuat manufaktur di kawasan ini tidak hanya menciptakan efisiensi pasar, tetapi juga nilai ekonomi jangka panjang.
“DCVMN telah mendefinisikan ulang industri vaksin global melalui perluasan kapasitas, adopsi teknologi baru, dan kemitraan lintas negara,” ujarnya seperti dikutip dari siaran pers, Kamis (30/10/2025).
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menyoroti pentingnya inovasi dan kolaborasi riset. Ia menyinggung berdirinya Vaccine Collaborating Centre (VOLARE) serta Indonesia–China Joint Research and Development on Vaccines and Genomics Secretariat di Kura-Kura Bali, yang diharapkan memperkuat daya saing industri bioteknologi nasional.
“Indonesia berkomitmen memperkuat R&D demi kedaulatan kesehatan, sekaligus memastikan akses vaksin yang adil dan tepat waktu bagi semua,” tegas Dante.
Baca Juga: Produk Deteksi Dini dan Pengobatan Kanker Bio Farma Raih Nomor Izin Edar dari BPOM
Dari sisi bisnis, Direktur Utama Bio Farma, Shadiq Akasya, menyoroti tantangan produsen vaksin di negara berkembang yang menghadapi pengetatan proses pra-kualifikasi WHO serta menurunnya pendanaan donor global.
Kondisi ini, katanya, menekan ruang pertumbuhan industri vaksin di pasar internasional.
“Kita membutuhkan model shared responsibility, di mana risiko, biaya, dan tanggung jawab dibagi secara adil antar mitra global,” kata Shadiq.
Ia menekankan perlunya keseimbangan antara perlindungan kesehatan publik dan keberlanjutan industri, serta pentingnya kolaborasi dengan lembaga global seperti WHO, GAVI, UNICEF, dan CEPI.
Sebagai pemain utama industri vaksin dunia, Bio Farma telah memasok produk ke lebih dari 150 negara, dengan 12 vaksin berstatus pra-kualifikasi WHO.
Produknya digunakan luas dalam program imunisasi global UNICEF, termasuk vaksin polio yang menjadi pilar utama eradikasi penyakit tersebut. Forum ini pun dimanfaatkan Bio Farma untuk memperluas jejaring bisnis dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok vaksin global.
Baca Juga: Raih Proper Hijau, Jababeka Siap Jadi Model Nasional Kawasan Industri Berkelanjutan
CEO DCVMN, Rajinder Suri, menegaskan pentingnya inovasi dan mekanisme pembiayaan baru untuk menopang industri vaksin masa depan.
“Inovasi dan transformasi digital, termasuk kecerdasan buatan, akan menjadi fokus utama kami,” ujarnya. Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk memastikan keberlanjutan finansial dan kesehatan masyarakat dunia.
“Imunisasi adalah investasi terbaik bagi masa depan. Melalui tanggung jawab kolektif, kita dapat menciptakan sistem kesehatan global yang lebih kuat dan tangguh,” tutup Suri.
Selanjutnya: Pasar Kripto Bergejolak, Likuidasi Capai Rp18,6 Triliun dalam 24 Jam
Menarik Dibaca: Rahasia Orang Kaya Ubah Gaji Jadi Aset yang Terus Bertumbuh, Simak Cara Cerdasnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













