Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) menyoroti dampak perang tarif atau penerapan tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Gabel memberikan catatan dan harapan mengenai prospek industri dalam negeri di tengah dinamika tersebut.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Suhardiman mengungkapkan total nilai ekspor dari anggota Gabel ke pasar AS saat ini mencapai sekitar US$ 300 juta. Menurut Daniel, Gabel tidak terlalu mengkhawatirkan penerapan tarif resiprokal dalam kaitan dengan ekspor produk Indonesia ke AS, atau sebaliknya.
Hal yang lebih menjadi kekhawatiran industri dalam negeri, termasuk produsen elektronik, adalah arus limpahan produk yang masuk ke Indonesia. Terutama dari para produsen besar seperti China, yang terkena dampak signfikan dari kebijakan Donald Trump tersebut.
“Indonesia menjadi sasaran empuk karena memiliki pasar yang sangat besar. Jadi, yang kami khawatirkan jika masuknya barang-barang impor itu dengan harga yang murah dan memiliki kualitas rendah. Tidak hanya pelaku industri dalam negeri yang dirugikan, tetapi juga konsumen,” ungkap Daniel dalam diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin), Kamis (17/4).
Baca Juga: OJK Sebut Kebijakan Tarif Trump Berpotensi Beri Dampak ke Sektor PVML
Daniel menegaskan, Gabel akan konsisten menyuarakan kepada pemerintah agar tetap memiliki komitmen yang kuat dalam melindungi pasar domestik dari serbuan impor barang jadi. Hal ini penting untuk bisa menjaga daya saing industri dalam negeri.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah tindakan non-tarif atau Non-Tariff Measure (NTM), instrumen yang umum digunakan oleh negara lain untuk mengamankan pasar dalam negerinya. Daniel mencontohkan AS yang memiliki hingga sekitar 4.600 NTM.
China juga memiliki banyak kebijakan non-tarif, hingga lebih dari 1.500 NTM. Begitu juga dengan sejumlah negara di Eropa yang memiliki banyak NTM. Sementara itu, Indonesia hanya memiliki sekitar 207 NTM. “Apabila dibandingkan dengan negara ASEAN seperti Thailand dan Filipina, NTM Indonesia tidak ada setengahnya dari mereka,” imbuh Daniel.
Pertek dan TKDN
Daniel kemudian menekankan pentingnya Pertimbangan Teknis (Pertek) untuk mengendalikan impor masuk di pasar domestik. “Kami ini produsen, tidak masalah dengan adanya penerapan Pertek. Karena selama ini yang dikenakan Pertek itu kan untuk impor barang jadi, bukan untuk Pertek bahan baku,” ungkapnya.
Daniel lantas menyoroti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024 yang menghilangkan Pertek. Daniel menilai sebaiknya aturan tersebut dikembalikan seperti pada Permendag No. 68/2020 dan Permendag No. 36/2023, yang dinilai bisa menarik investasi masuk ke Indonesia.
Daniel membandingkan saat Permendag No. 68/2020 diperlakukan, beberapa industri seperti alas kaki, sepeda dan Air Conditioner (AC) mengalami kenaikan tingkat utilisasi hingga 50%. "Peraturan yang memberlakukan Pertek ini efektif pada Agustus 2020, pada saat itu utilisasi naik. Namun, setelah itu ada relaksasi peraturan, akhirnya utilisasi jadi menurun,” terang Daniel.
Gabel pun berharap pemerintah dapat segera merevisi Permendag No. 8/2024. "Indonesia harus menjadi basis produksi atau tuan rumah di negerinya sendiri, karena didukung ketersediaan sumber daya yang melimpah dan banyak tenaga kerja berusia produktif. Aktivitas industri menjadi sangat penting, karena menyerap tenaga kerja begitu banyak,” tegas Daniel.
Selain Pertek, Daniel menyoroti kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), yang juga bisa menjadi NTM bagi Indonesia. Daniel memberikan catatan sekaligus mengingatkan bahwa wacana pelonggaran TKDN justru bisa memicu arus keluar investasi dari Indonesia.
Menurut Daniel, kebijakan Pertek dan TKDN yang tepat justru bisa membuat industri Indonesia tumbuh, mandiri dan berdaya saing. "Pemerintah perlu menyadari bahwa pertek dan TKDN itu ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan," ungkap Daniel.
Daniel menambahkan, untuk melindungi dan mengamankan pasar dalam negeri, pemerintah harus serius untuk menekan banjir impor produk jadi. Salah satu caranya adalah kontrol border di pelabuhan, bukan saat di post border. “Selain itu, pemberlakuan pelabuhan tertentu bagi impor produk jadi atau entry point. Ini juga diberlakukan oleh negara-negara lain seperti India dan Thailand,” tegas Daniel.
Baca Juga: Akhirnya, Pemerintahan Trump Ringankan Biaya Pelabuhan untuk Kapal Buatan China
Selanjutnya: Cinepolis Cinemas Memperkenalkan Virtual Cinema Experience di Minecraft
Menarik Dibaca: Manfaat Spearmint Tea untuk Mengobati Jerawat, Seampuh Apa?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News