Reporter: Leni Wandira | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang harga di industri transportasi online saat ini dinilai telah bergeser dari upaya menarik konsumen menjadi strategi untuk menyingkirkan pesaing dan menguasai pasar. Kondisi ini dikhawatirkan akan menciptakan dominasi satu pemain dalam ekosistem digital Indonesia.
Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf menyebut bahwa praktik perang harga yang terjadi dalam layanan pengantaran orang, makanan, dan barang saat ini telah masuk ke tahap predatory pricing.
“Perang harga dalam ekosistem digital saat ini bukan lagi soal menarik pelanggan, tapi untuk menyingkirkan pesaing dan mendominasi pasar,” ujar Syarkawi dalam pernyataannya, Jumat (11/7).
Menurut Syarkawi, siklus persaingan harga ekstrem ini melibatkan suntikan modal asing dalam jumlah besar, yang digunakan oleh platform digital untuk menetapkan tarif sangat rendah, bahkan di bawah biaya produksi.
Baca Juga: Kemenhub Membidik Kenaikan Tarif Ojol 8% hingga 15%
Syarkawi menilai jika tidak dikendalikan, perang harga ini akan berujung pada terciptanya monopoli digital. Hal ini dapat menghambat perkembangan ekosistem digital yang sehat dan kompetitif.
“Kalau ini dibiarkan, dalam jangka panjang ekosistem digital Indonesia akan dikuasai satu pemain dominan,” tegasnya.
Syarkawi mendorong pemerintah segera melakukan intervensi guna menghindari dampak jangka panjang dari perang harga ekstrem tersebut. Salah satu langkah yang disarankan adalah memastikan kepatuhan terhadap tarif batas bawah (TBB) dan tarif batas atas (TBA) oleh seluruh platform digital.
Ia juga mengingatkan bahwa rencana kenaikan tarif dan penurunan komisi aplikasi menjadi 10% harus dikaji ulang. Pasalnya, permintaan konsumen di sektor ini sangat sensitif terhadap perubahan harga.
Baca Juga: Kontroversi Komisi Ojol, Ke Mana Uang Itu Mengalir? Ternyata Begini Hitungannya
“Kenaikan tarif dan pemangkasan komisi aplikasi bisa memicu kontraksi pasar. Ini juga berisiko mengganggu posisi Indonesia sebagai jangkar ekosistem digital ASEAN, mengingat pangsa pasar digital Indonesia mencapai 35% dari total ASEAN,” ujar Syarkawi.
Dengan ekosistem digital Indonesia yang tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah dinilai perlu menjaga keseimbangan antara inovasi, investasi, dan persaingan usaha yang sehat.
"Dominasi satu entitas dalam ekosistem digital bukan hanya berbahaya bagi persaingan, tetapi juga dapat mengancam kedaulatan ekonomi digital nasional," pungkasnya.
Baca Juga: Pemerintah Berencana Naikkan Tarif Ojol Sebesar 8%-15%, Begini Respons Grab
Selanjutnya: Rupiah Bergerak Variatif tapi Condong Melemah pada Pekan Ini
Menarik Dibaca: Permintaan Magang Tinggi, BINUS-ASO Sering Kehabisan Mahasiswa
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News