Reporter: Fahriyadi | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Ambisi PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) untuk menjadi perusahaan terbesar dalam bisnis menara mendapat sorotan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kali sorotannya mengarah pada rencana Telkom mengakuisisi perusahaan menara terbesar di Indonesia, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG).
Yang dipersoalkan DPR, pembayaran akuisisi itu dilakukan dengan menukarkan 49% saham anak usahanya, yaitu PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel). DPR meminta manajemen Telkom tidak melakukan aksi korporasi itu. Sebab, DPR telah menolak rencana penjualan Mitratel karena melanggar Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Sebagai catatan, Direktur Keuangan Telkom, Honesti Basyir Telkom bilang, pihaknya ingin menjadi pemain terbesar di bisnis tower. Telkom akan mengakuisisi perusahaan tower itu dengan menukar 49% saham Mitratel.
Anggota Komisi VI DPR, Arif Minardi, menduga ada sesuatu di balik aksi korporasi Telkom yang akan melakukan tukar guling saham Mitratel. "Ini bisa menyesatkan publik. Ada udang di balik batu manuver Telkom itu," kata Arif, akhir pekan lalu.
Arif menyatakan, Telkom saat ini adalah perusahaan terbesar dari sisi jumlah menara yang beroperasi, yakni sebanyak 90.000 unit, termasuk 2G dan 3G dari Telkomsel, Flexi dan Mitratel. Mitratel sendiri memiliki 5.000 menara. Jadi, jumlah menara Mitratel setengah dari perusahaan tower lainnya, seperti Tower Bersama.
Persoalannya, lanjut Arif, Telkom berencana melikuidasi Flexi. Dalam rencana tersebut, Telkom mempertimbangkan juga divestasi 4.500 base transceiver station (BTS) milik Flexi. "Seharusnya Telkom memindahkan aset tersebut ke Mitratel untuk mewujudkan perusahaan tower dengan jumlah 10.000 tower," imbuh Arif.
Cara lain, Telkom bisa menambah tower Mitratel lewat akuisisi 5.000 tower Telkomsel sehingga bisa bersaing dengan PT Sarana Menara Nusantara Tbk dan Tower Bersama. Keduanya memiliki nilai aset Rp 40 triliun. Telkom juga bisa menggelar penawaran umum saham perdana atawa IPO Mitratel untuk mengakuisisi tower Telkomsel.
Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi menilai, menjual 49% saham Mitratel untuk 22% saham Tower Bersama bisa diklasifikasikan mark up atau mark down valuasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menginvestigasi pihak yang terlibat proses ini," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News