Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Asnil Amri
KONTAN.CO.ID. Gerah, itulah yang dirasakan Siti Humaeroh, warga Tangerang tiga tahun belakangan ini. Suhu udara yang panas, membuat Ema sapaan akrab Siti harus bersiasat agar bisa beraktivitas dengan normal. Jika suhu terlalu tinggi, tidak hanya aktivitas Ema yang terganggu, tetapi waktu istirahatnya dan juga anaknya.
Agar bisa beraktivitas dan beristirahat dengan nyaman, Ema memutuskan untuk merogoh isi kantongnya untuk membeli alat pendingin udara alias AC. Meski harus mengeluarkan biaya tambahan, namun Ema sudah bertekad untuk membeli AC. Apalagi, sang anak belakangan mengalami gangguan pernafasan.
Berulang kali dan bolak-balik diobati, gangguan pernafasan itu tetap kembali. Ema curiga, debu dan polusi udara di Tangerang menjadi sebab-musababnya. Selain debu yang kerap beterbangan lewat kipas angin, suhu yang terlalu panas membuat anaknya gelisah, batuk dan tidurnya jauh dari kata nyenyak.
“Waktu itu dokter memang menyarankan agar pasang AC di kamar, supaya mengurangi paparan debu dari kipas angin, selain itu supaya anakku bisa tidur nyaman,” ceritanya saat ditemui KONTAN di kontrakannya di Tangerang, Minggu (23/6/2024).
Keputusan Ema membeli AC tentu tak mudah. Perempuan yang bekerja sebagai guru honorer tersebut harus menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membeli AC. Dengan gaji yang hanya Rp 1,5 juta, tentu Ema harus pintar-pintar mengatur keuangannya.
Dengan kemampuan ekonominya, Ema akhirnya hanya bisa membeli AC dalam kondisi bekas dengan kapasitas 0,5 di toko dekat rumahnya. Tak banyak yang ia pertimbangan saat memilih jenis AC. Ema hanya ingin anaknya bisa tidur dengan nyenyak dan tidak ada lagi risiko terpapar debu dari kipas angin.
Namun, AC merek lokal yang dibelinya itu hanya bisa digunakan dua tahun. Selain sudah tidak dingin, AC juga mengeluarkan suara bising. Dengan kondisi AC yang rusak itu, ia harus merogoh kocek lebih dalam untuk perbaikan dan pemeliharaan. Belum lagi, tagihan listriknya membengkak hingga 40% setiap bulan.
“Biasanya bayar listrik di rumah sebulan paling Rp 250.000, setelah pake AC bayarnya jadi naik Rp 350.000 padahal hanya digunakan 9 jam sehari. Dinyalakan jam tujuh malam, nanti dimatikan jam lima subuh,” ungkapnya.
Kini, Ema merasa AC bukan lagi kebutuhan mendesak. Ia lebih memilih mengalokasikan uangnya untuk keperluan rumah tangga yang semakin besar. AC itu kini sekadar jadi pajangan dalam kamarnya. Beruntung, kondisi anaknya sudah lebih baik dari sebelumnya.
Batuknya kini sudah mereda. Tetapi mau tidak mau, kipas angin di kamarnya kembali dinyalakan. Bagi Ema, kipas angin itu satu-satunya jalan untuk membuat sirkulasi udara di rumahnya.
Tak hanya di Tangerang, cerita hawa panas juga dialami warga Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Seperti yang diceritakan Nofiyatul Chalimah, yang harus menepis tetesan keringat di pelipis dengan semilir angin dari kipas angin. Jika sebentar tak ada masalah, namun jika terlalu lama, masuk angin atau sakit yang mengancam tubuh perempuan itu.
“Di 2023 saya pindah di kawasan padat penduduk, tidak apa pohon. Di rumah itu rasanya gerah, panas, lembab. Bersamaan juga dengan El Nino, jadi kipas angin saja tidak cukup. Makanya saya menganggarkan dana khusus demi membeli AC supaya kamar saya bisa adem,” ceritanya kepada KONTAN, Kamis (28/6/2024).
Keputusan untuk membeli AC dilakukan setelah ia melihat pengumuman dari Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Saat itu suhu di maksimum tertinggi di Samarinda sempat mencapai 36,7 derajat celcius pada April 2024. Di sepanjang bulan itu, rata-rata suhu panas di Samarinda 33-34 derajat celcius.
Meski matahari terik sudah tenggelam, namun hawa panas dan lembab di malam hari, justru membuat Nofi semakin tidak nyaman. Bahkan dia pernah mengeluhkan kurang tidur karena hawanya gerah semalaman. Sejak itulah, Nofi memutuskan membeli AC.
Sebelum pergi ke toko elektronik untuk membeli AC, Nofi mencari tahu rekomendasi AC yang hemat listrik lewat internet. Bermodal wawasan ini, dia membeli satu unit AC 0,5 PK, yang belakangan dia tahu sudah dilabeli 5 bintang.
Setelah dibeli dan digunakan, AC tersebut menyala 18 jam hingga 20 jam sehari. Saat mengecek tagihan listrik, Nofi mengelus dada karena tidak ada lonjakan listrik yang signifikan. “Hanya naik 25% dari sebelumnya. Itupun pakai AC berbarengan dengan TV yang inchi-nya lebih besar,” ceritanya.
Penjualan memanas
Selain Ema dan Nofi, ada banyak cerita penduduk Indonesia yang membeli AC belakangan ini. Kondisi ini membuat toko elektronik kebanjiran berkah, didatangi pembeli AC maupun pembeli yang ingin mengganti AC-nya dengan AC yang lebih dingin. Kabar menyejukkan itu juga diceritakan Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel), Daniel Suhadirman. “Ke depan masih diprediksi penjualan terus tumbuh,” jelas Daniel.
Meski tidak bisa membeberkan angka pertumbuhannya, sejumlah perusahaan AC mengungkapkan, penjualannya tumbuh dua digit hingga paruh pertama 2024. National Sales Senior General Manager Sharp Indonesia (SEID), Andry Adi Utomo bilang, penjualan AC dari awal tahun tumbuh sekitar 12% dibanding tahun lalu.
“Performa penjualan AC milik SEID sangat menggembirakan. Di semester I 2024 ini penjualan sudah 17% melampaui target business plan. Bahkan mencetak rekor penjualan AC terbanyak hampir sebesar 100.000 unit dalam 1 bulan,” ungkapnya saat dihubungi terpisah.
Untuk merek AC Sharp yang paling laku di pasar didominasi oleh AC Split Standard Non-Inverter dengan kontribusi terbanyak dari kapasitas 0.5PK dan memiliki bintang 3.
Senada, Direktur Komersial PT Hartono Istana Teknologi (Polytron), Tekno Wibowo juga melaporkan kenaikan penjualan AC di semester I-2024, atau naik 23% Year on Year (YoY). AC yang paling laku ialah AC Split 0,5 PK dan 1 PK.
Spesifikasi ini menyesuaikan dengan ketersediaan listrik di rumah dan besar ruangan. “Namun, untuk kaitannya dengan efisiensi energi, konsumen saat ini masih mengutamakan AC dengan harga yang terjangkau. Namun, Polytron menjual AC bintang 4,” ungkapnya.
Dengan adanya pertumbuhan permintaan, utilisasi pabrik Polytron menjadi lebih baik dari tahun lalu, yakni di level 70%. Melihat sentimen positif ini, di sepanjang 2024, pihaknya menargetkan, penjualan AC bisa naik hingga 25% YoY.
Aksi dumping AC k
Namun, di balik lonjakan permintaan AC yang terjadi saat ini, ternyata tidak serta-merta membuat produsen AC dalam negeri bisa menadah keuntungan maksimal. Pasalnya, pasar pendingin di Indonesia masih didominasi impor.
Baru-baru ini Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel mengeluhkan, impor AC yang banyak berdatangan ke Indonesia memiliki kualitas rendah, tidak ramah lingkungan, dan tidak memiliki suku cadang untuk perawatan purna jual.
“Tiga hal ini sangat merugikan konsumen karena produk tersebut selain tidak membuat dingin ruangan, juga cepat rusak dan akan menjadi barang rongsok,” ujarnya dikutip dalam keterangan resmi di laman resmi DPR RI, Minggu (16/6/2024).
Jika merujuk data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) tahun 2023, kapasitas produksi produk AC nasional tercatat 2,7 juta unit. Adapun realisasi produksinya kurang dari separuhnya atau sekitar 1,2 juta unit atau 43%. Sementara dari data Laporan Surveyor, impor produk AC menembus 3,8 juta unit di sepanjang tahun lalu.
Dari perbandingan produksi dan impor itu, boleh dibilang AC produksi dalam negeri menjadi tamu di rumah sendiri. Dalam laporan yang diterbitkan CLASP (Collaborative Labeling and Appliance Standards Program) tahun 2023, ada banyak perusahaan multinasional dari China, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat yang mengekspor jutaan pendingin udara ke negara Asia Tenggara.
CLASP didukung Institute for Governance & Sustainable Development (IGSD) menghitung, lima dari enam pasar di Asia Tenggara yang diteliti yakni; Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam, telah dibanjiri pendingin udara yang tidak efisien. Sementara hanya Singapura yang pasarnya dipenuhi AC efisien dengan refrigeran yang ramah lingkungan.
Pada 2021 sebanyak 74% dari total penjualan AC sebesar 6,2 juta unit di enam pasar, diklasifikasikan ‘efisiensi rendah’. Nah, sekitar 93% AC yang diimpor ke Asia Tenggara ini berasal dari Tiongkok. Adapun penjualan AC efisiensi rendah ini paling banyak dijual di Indonesia dan Filipina.
Sebagian besar AC yang diimpor ke Asia Tenggara tidak memenuhi standar kinerja energi minimum (SKEM) di negara asal produksi, sehingga mereka mengekspor unit yang sejatinya tidak dapat dijual di negaranya sendiri. Dalam laporan yang diterbitkan oleh CLASP, praktik penjualan AC itu juga terindikasi dumping.
Dumping adalah, menjual barang lebih murah di negara tujuan ekspor ketimbang di negara sendiri. Terkait hal ini, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Perusahaan Pendingin Refrigerasi Indonesia (Perprindo), Andy Wijaya bilang, saat ini sebagian besar produk AC yang beredar di Indonesia memiliki rating bintang 1, karena secara regulasi pemerintah masih memperbolehkannya.
Andi juga menepis adanya pandangan bahwa Indonesia merupakan negara dumping AC. Andy menegaskan, semua produk yang diimpor dan masuk ke Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku. Menurutnya, impor dilakukan jika ada pesanan spesifikasi produk dari si pemesan.
Jika pemesannya dari dalam negeri, maka si pemesan harus melewati proses sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SN) dan juga sertifikasi SKEM terlebih dahulu. “Sehingga kami berpendapat bahwa Indonesia sebagai dumping dari produk AC itu tidaklah tepat karena pabrik luar negeri itu pasti memproduksi sesuai pesanan dan memang pesanan dari pelaku usaha di Indonesia adalah masih sesuai ketentuan yang berlaku yaitu produk bintang 1,” ujarnya kepada KONTAN belum lama ini.
Pengawasan peredarab
Sejatinya sudah sejak lama, Indonesia mengimplementasikan Label Tanda Hemat Energi (LTHE) melalui tanda bintang untuk produk AC. Semakin banyak bintang, semakin hemat energi atau makin sedikit listrik yang disedot. LTHE memiliki 5 tingkat hemat energi, yaitu 1 bintang, tingkat hemat energi paling rendah, kemudian 2 bintang, 3 bintang, 4 bintang, dan 5 bintang untuk yang paling hemat.
Penghitungan bintang pada LTHE AC tidak dilakukan secara langsung, melainkan berdasarkan nilai EER (Energy Efficiency Ratio) atau COP (Coefficient of Performance) AC. Namun, pengetatan peredaran AC yang efisiensi energinya rendah baru mulai diatur oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini lewat Keputusan Menteri ESDM No. 134.K/EK.07/DJE/2023 tentang Perubahan SKEM dan LTHE untuk AC.
Pada intinya, aturan tersebut mengatur peningkatan nilai SKEM dari Cooling Seasonal Performance Factor (CSPF) 3,10 menjadi CSPF 3,40. Adapun AC dengan label bintang satu tidak diizinkan diproduksi lagi di Indonesia mulai 2024.
Koordinator Pengawasan Konservasi Energi Direktorat Konservasi Energi Kementerian ESDM, Endra Dedy Tamtama bilang, lamanya pembatasan untuk peredaran AC bintang 1 di Indonesia karena pemerintah menunggu kesiapan semua pihak.
“Di satu sisi ada pengusaha dan masyarakat posisinya harus seimbang khususnya kemampuan daya beli. Laboratorium pengujian juga harus tersedia,” ujarnya dalam Workshop yang diselenggarakan CLASP dan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) di Bogor, Senin (10/6/2024).
Dari sisi pengusaha dan importir, Perprindo mengakui tidak merugi dengan kebijakan phase out bintang 1, karena selama ini pelaku usaha menjalankan usahanya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Bila nanti ada perubahan aturan, Andy bilang, semua anggota Perprindo akan menaatinya sesuai peraturan sehingga tidak ada kerugian apapun. Namun, pengusaha meminta sosialisasi dan waktu persiapan yang cukup untuk mengubah penjualannya ke produk dengan label yang lebih tinggi.
Dia juga mengharapkan pemerintah dapat melakukan analisa yang tepat atas kesiapan dan kemampuan daya beli masyarakat karena produk dengan nilai CSPF yang lebih tinggi mempunyai biaya yang lebih tinggi sehingga konsekuensinya adalah harga produk lebih mahal.
CLASP tentu punya pandangan yang berbeda. Menurutnya, Buying power masyarakat di Indonesia tidak mengalami masalah, lantaran hanya 6% dari total populasi yang membeli AC. Sehingga, keputusan pembelian alat pendingin ini juga dipengaruhi oleh ketersediaan barang di pasar.
“Jika yang tersedia di pasar kebanyakan AC bintang 1 dan 2 ya tentu masyarakat akan membeli itu, apalagi harganya murah. Sedangkan cukup susah untuk mencari AC yang berlabel 4 bintang dan 5 bintang di pasaran,” ujar Nanik Rahmawati, Manajer Program CLASP di Asia Tenggara di Bogor, Senin (10/6/2024).
Selain peraturan Kementerian ESDM yang mulai phase out AC berlabel 1 bintang, ada kebijakan lainnya yang diharapkan bisa mengetatkan importasi pendingin ruangan.
Produk kebijakan ini dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) lewat Peraturan Menteri (Permen) Perindustrian Nomor 6 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Teknis Impor Produk Elektronik.
Pada aturan itu, terdapat 139 pos tarif elektronik yang diatur dengan rincian 78 pos tarif diterapkan Persetujuan Impor dan Laporan Surveyor (LS) serta 61 pos tarif lainnya hanya dengan LS. Di antara jenis produk dari 78 pos tarif tersebut, salah satunya ialah AC.
Direktur Industri Elektronika dan Telematika (IET) Kementerian Perindustrian, Priyadi Arie Nugroho menyatakan, regulasi ini adalah upaya konkret menciptakan kepastian berinvestasi bagi pelaku industri di Indonesia. “Khususnya dalam rangka memproduksi produk elektronika di dalam negeri,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (9/4/2024).
Menurutnya, tata niaga impor untuk produk elektronika merupakan hal yang baru dan belum pernah diberlakukan. Makanya, kebijakan ini diharapkan bisa melindungi pelaku usaha dalam negeri.
Namun sayang, belum lama ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis aturan anyar, Permendag No 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Kebijakan ini mulai berlaku pada 17 Mei 2024.
Terbitnya regulasi ini disulut ribuan kontainer yang menumpuk di Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Perak akibat belum bisa mengajukan dokumen pabean impor karena kendala perizinan impor. Kontainer itu berisi berbagai macam produk, salah satunya elektronik.
Ada satu substansi dalam Permendag 8/2024 yang menjadi antitesa aturan pembatasan impor AC yang dikeluarkan Kemenperin. Substansi itu terkait dengan relaksasi persyaratan permohonan Persetujuan impor (PI) oleh Importir pemilik Angka Pengenal Importir-Produsen (API-P) untuk barang komplementer, tes pasar, dan purna jual untuk 18 komoditas yang dibatasi impornya menjadi tanpa memerlukan pertimbangan teknis.
Pihak Gabel menilai, kebijakan phase out bintang 1 Kementerian ESDM tidak berdampak langsung ke permintaan AC. “Ini lebih ke non tariff barrier. Tapi dengan Permendag No 8/2024, Pertek tersebut kan dihapus,” ujar Daniel.
Longgarnya kebijakan penjualan AC, khususnya dengan efisiensi energi yang rendah, membuat pengusaha gencar membidik ceruk pasar ini. Selain biaya produksi yang tidak mahal, potensi penjualan di segmen pasar ini lebih tinggi dibandingkan AC bintang 3 hingga bintang 5.
Buktinya saja, PT Daikin Airconditioning Indonesia (Daikin) akan lebih banyak memproduksi AC berlabel 2 bintang di pabrik teranyarnya. Fawzie Taib, General Manager PT Daikin Airconditioning Indonesia bilang, pihaknya sedang membangun pabrik senilai Rp 3,3 triliun di Kawasan Industri Greenland International Industrial Center (GIIC), Cikarang.
Jika tidak ada aral melintang, pabrik itu mulai produksi di Desember 2024. Pada tahun pertama, pabrik ini akan produksi di kisaran 500.000 unit. “Awalnya kami mau memproduksi 50% produksi AC dengan label 3 bintang - 5 bintang. Tetapi dengan peraturan pemerintah kami ubah tahun ini, AC yang 2 bintang dilebihkan lagi karena masyarakat Indonesia belum terima AC yang berbintang tinggi,” ujarnya saat ditemui di Bogor belum lama ini.
Jika ke depannya, kebijakan Indonesia semakin ketat soal penggunaan AC berbintang tinggi, Fawzie menegaskan, Daikin akan menyesuaikannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News