Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) resmi menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 35 Tahun 2025 sebagai regulasi terbaru terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan Bobot Manfaat Perusahaan (BMP). Aturan ini sekaligus menggantikan Permenperin Nomor 16 Tahun 2011.
Perbedaan mendasar dari aturan baru ini adalah adanya insentif TKDN bagi perusahaan yang berinvestasi dan melakukan penelitian serta pengembangan (litbang) di Indonesia.
Sebelumnya, tidak ada insentif nilai TKDN bagi pelaku usaha yang menanamkan modal di sektor manufaktur. Kini, perusahaan yang berinvestasi di dalam negeri otomatis memperoleh nilai TKDN minimal 25%.
Selain itu, aturan ini juga mengatur pemberian tambahan nilai TKDN hingga 20% bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan litbang.
Baca Juga: Kemenperin Rilis Aturan Baru TKDN, Ini Poin Perubahan dan Insentif Bagi Industri
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman, menilai aturan baru ini berpotensi memperkuat daya tarik investasi asing.
“Dengan mekanisme ini, investor lebih terdorong membangun pabrik dan pusat R&D di dalam negeri. Efek ikutannya adalah transfer teknologi ke SDM lokal, terbukanya peluang kerja sama dengan universitas dan IKM, serta penguatan rantai pasok nasional,” ujar Rizal kepada Kontan, Jumat (12/9/2025).
Namun, Rizal mengingatkan aturan ini juga menyimpan risiko bagi pelaku IKM. Pemain asing dengan modal besar bisa lebih cepat beradaptasi, membangun fasilitas, dan langsung mengantongi nilai TKDN tinggi, meskipun awalnya masih mengandalkan impor komponen.
Baca Juga: Aturan Baru TKDN Bikin Investor Lebih Fleksibel
Kondisi ini berpotensi menekan pelaku lokal yang kapasitas produksinya terbatas, terutama pada pasar pengadaan pemerintah yang mensyaratkan sertifikasi TKDN.
“Produk asing dengan label TKDN bisa mendominasi, padahal kandungan lokal riilnya masih minim. Ini risiko yang harus diantisipasi,” tambahnya.
Untuk itu, Rizal menilai keseimbangan kebijakan perlu dijaga. Insentif TKDN tambahan sebaiknya bersifat kondisional, misalnya hanya diberikan jika perusahaan asing memenuhi target penggunaan komponen lokal, transfer teknologi, dan pengembangan supplier domestik secara bertahap.
Pemerintah juga perlu memberikan ruang proteksi bagi IKM, baik melalui kuota pengadaan maupun preferensi khusus. Selain itu, sistem verifikasi TKDN harus diperketat untuk mencegah praktik “labeling” semu yang justru melemahkan industri lokal.
Baca Juga: Airlangga: Bebas TKDN Produk AS Hanya untuk Sektor Telekomunikasi dan Alat Kesehatan
“Kalau insentif TKDN benar-benar ingin menghasilkan upgrading industri, maka harus dilengkapi dengan program penguatan kapasitas IKM, pembiayaan murah, dan skema pengembangan pemasok lokal,” jelas Rizal.
Lebih lanjut, Rizal mengatakan, strategi transfer teknologi juga harus mempunyai indikator terukur, seperti jumlah tenaga kerja tersertifikasi, proyek litbang bersama, atau paten lokal.
Ia menekankan, insentif fiskal maupun nonfiskal sebaiknya diberikan bertahap sesuai pencapaian target konkret.
Dengan begitu, Permenperin 35/2025 bisa menjadi pintu transformasi industri nasional, bukan sekadar celah bagi produk asing untuk masuk dengan label lokal.
Baca Juga: Aliansi Ekonom Indonesia Menyoroti Kebijakan TKDN, Kemenperin: Kami Sudah Evaluasi
Selanjutnya: Konsumsi BBM Non-Subsidi Melonjak, Butuh Impor BBM 1,4 Juta Kiloliter
Menarik Dibaca: Promo Superindo Hari Ini Periode 12-14 September 2025, Aneka Bawang Segar Diskon 20%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News