kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ignasius Jonan bakal larang penuh ekspor ore nikel, investasi 57 smelter berhenti?


Jumat, 09 Agustus 2019 / 08:48 WIB
Ignasius Jonan bakal larang penuh ekspor ore nikel, investasi 57 smelter berhenti?


Reporter: Pratama Guitarra, Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Produsen nikel yang sedang membangun smelter kini dibuat cemas. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun beleid berkenaan dengan percepatan peghentian ekspor bijih nikel (ore) secara total.

Sejatinya, pemerintah sudah memiliki rencana untuk menutup ekspor nikel ore pada tahun 2022. Hal ini bersamaan dengan target penyelesaian pengembangan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).

Baca Juga: Progres Proyek Smelter Wajib Mencapai 30% Tahun Ini

Rencana penyetopan yang dipercepat itu dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin. Ia bilang, pihaknya sudah diajak berdialog dengan pemerintah dalam rencana penerbitan aturan baru untuk mempercepat penyetopan ekspor bijih nikel itu.

Hanya saja ia enggan membeberkan isi dari aturan yang pernah dibicarakan. "Iya sedang dibuat aturan. Poinnya revisi, stop ekspor," terangnya kepada KONTAN.

Baginya, pemerintah harus konsisten dengan PP 01/2019, bahwa pemberlakuan penghentian ekspor baru bisa dilakukan pada tahun 2022. Sebab ia takut, jika keputusan pemberhentian ekspor dikeluarkan dalam waktu cepat, maka akan banyak kerugian yang dialami penambang maupun pembuat smelter.

Seperti misalnya, akan ada banyak tambang nikel yang tutup karena tidak bisa diekspor, berimbas pada harga yang tidak balancing. "Harga ekspor dan harga lokal kan mati. Nanti terjadi kartel, ada yang menguasai harga dan kita tidak sanggup," terangnya. Terlebih lagi, banyak yang tengah mengembangkan smelter, namun tidak ada pemasukan dana melalui penjualan bijih nikel yang diekspor. Alhasil, pembangunannya mangkrak.

Seperti diketahui, pengaturan dan pelarangan ekspor mineral mentah sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 atau UU Minerba. Pasal 103 ayat (1) dalam beleid tersebut mewajibkan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

Baca Juga: Kementerian ESDM yakin hilirisasi mineral lewat 57 smelter bisa selesai 2022

Lebih lanjut, pada Pasal 170 disebutkan bahwa pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan.

Namun, pemerintah melakukan relaksasi, dan mengizinkan ekspor mineral mentah. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 tahun 2017 yang diterbitkan pada 11 Januari 2017.

Dalam beleid tersebut, nikel dengan kadar kurang dari 1,7% dan bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar Al2O3 lebih dari satu atau sama dengan 42% digolongkan dalam mineral logam dengan kriteria khusus.

Baca Juga: Tiga smelter anyar bakal beroperasi tahun ini

Dengan relaksasi tersebut, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang telah atau sedang membangun smelter pun bisa mengekspor komoditasnya maksimal lima tahun sejak peraturan tersebut diterbitkan.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono mengklaim, hingga saat ini belum ada perubahan sehingga peraturan yang lama masih tetap berlaku.

Bambang pun mengaku tidak tahu apakah akan ada perubahan, baik dari percepatan jadwal penutupan ekspor ore nikel maupun spesifikasi dari kadar ore yang boleh diekspor.

"Saya tidak mau berandai-andai, nanti kalau memang keluar peraturannya, baru bisa comment. Prinsipnya sebelum ada aturan baru, yang lama tetap berlaku," katanya beberapa waktu lalu.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Yunus Saefulhak memilih untuk tidak berkomentar hingga ada pemberitahuan lebih lanjut. "Saya no comment untuk itu. Nanti saja kalau memang ada yang baru," ujarnya kepada KONTAN.

Baca Juga: Progres smelter lambat, ESDM minta proyek sudah capai 25%-30% di akhir 2019

Mengacu data dari Kementerian ESDM, pada tahun 2018 lalu realisasi ekspor nikel sebesar 20,09 juta ton dan baukit 8,70 ton. Sedangkan rencana ekspor nikel pada tahun ini sebesar 15,07 juta dan bauksit sebanyak 10,97 juta.

Dalam perencanaan Kementerian ESDM, akan ada 40 smelter baru hingga tahun 2022. Dari tambahan smelter tersebut, 21 di antaranya merupakan smelter nikel dan bauksit berjumlah 6 smelter.

Alhasil, hingga tahun 2022, total akan ada 60 smelter IUP OPK yang beroperasi. Dengan 34 smelter nikel dan 8 smelter bauksit.

Menurut pendiri Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan & Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handoyo, relaksasi tersebut melanggar UU Minerba dan merupakan bentuk inkonsistensi dari pemerintah.

Dengan adanya relaksasi ekspor mineral mentah itu, pengusaha smelter dalam negeri dirugikan. Hal itu lantaran pasokan ke pasar ekspor lebih dominan sehingga smelter kesulitan untuk mencukupi bahan baku. "Ini (relaksasi ekspor) sudah pasti menyulitkan bahan baku. Apalagi sejak kemarin harga nikel dunia sudah di atas US$ 15.000, kan sayang kalau hanya dijual (diekspor) hanya dalam bentuk tanah (bukan hasil pengolahan)," tandasnya.

Syarat Ekspor Berubah Terus

Ekspor bijih mentah sejatinya sudah harus disetop pada tahun 2014. Penyetopan itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Setelah lima tahun terbit pemerintah mesti membuat aturan untuk mengehntikan ekspor ore.

Artinya UU no 4 tahun 2009 tersebut mengamanatkan, per 12 januari 2014 baik pemegang IUP maupun kontrak karya yang sudah berproduksi dilarang mengeskpor mineral mentah (ore).

Baca Juga: Harga mineral Juli turun, begini tanggapan pengusaha mineral

Namun, berbagai perubahan terjadi dan maju-mundur. Drama penyetopan pernah dilakukan pada awal pemerintahan Joko Widodo. Namun, kembali dibuka karena urusan pendapatan negara. Setelah itu, dibuka terbatas atau relaksasi dengan syarat. Sampai akhirnya saat itu Menteri ESDM masih mempertahankan Permen ESDM No 25/2018.

Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perngusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam Pasal 55 ayat 5 aturan tersebut menyebutkan, kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian harus mencapai paling sedikit 90% dari rencana kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian yang dihitung secara kumulatif sampai satu bulan terakhir oleh verifikator independen.

Lebih lanjut, ayat 7 disebutkan bahwa dalam setiap enam bulan, persentase kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian tidak mencapai 90%, maka Kementerian ESDM (Dirjen atas nama Menteri), menerbitkan rekomendasi kepada Dirjen yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan luar negeri untuk mencabut persetujuan ekspor yang sudah diberikan.

Kini Menteri ESDM akan menyetop seluruh kegiatan tambang yang mengekspor ore atau bijih mentah. Bagaimana nasib smelter yang saat ini dibangun perusahaan?

Baca Juga: Freeport Indonesia siap ajukan tambahan kuota ekspor konsentrat bulan ini

Seperti diketahui, Kementerian ESDM saat ini terus mengejar target hilirisasi mineral melalui pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter). Seiring dengan berakhirnya masa relaksasi ekspor komoditas mineral mentah, ditargetkan akan ada 57 smelter yang sudah beroperasi pada tahun 2022.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, 57 smelter yang ditargetkan tersebut adalah yang berlisensi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. "Harusnya 60 ya, 57 khusus dari ESDM, 3 izin IUI (Izin Usaha Industri dari Kementerian Perindustrian)," kata Yunus kepada Kontan.co.id, Jum'at (10/5).

Namun, hingga tahun 2018, smelter yang sudah bisa beroperasi baru separuh dari target tersebut. Sampai dengan tahun lalu, baru ada 27 smelter yang sudah bisa beroperasi.

Sehingga, direncanakan ada tambahan 30 smelter dalam empat tahun ke depan. Rincinya, ditargetkan akan ada tambahan 3 smelter tembaga, 16 smelter nikel, 5 smelter bauksit, 2 smelter besi dan 4 smelter timbal dan seng.

Baca Juga: Sejumlah emiten merambah bisnis tambang emas

Sementara itu, Yunus mengungkapkan akan ada tiga smelter yang ditargetkan bisa beroperasi pada tahun ini. Yakni smelter nikel PT Aneka Tambang di Tanjung Buli-Halmera, smelter timbal PT Kapuas Prima Citra di Kalimantan Tengah, dan smelter nikel PT Wanatiara Persada di Obi, Halmahera.

Hingga Kuartal I-2019, Yunus mengklaim bahwa secara umum target pembangunan smelter masih sesuai target. "Sementara ini secara umum tercapai. Ketika ada perusahaan yang bandel, ya segera ekspornya dilarang, itu sebagai bentuk pembinaan kita," kata Yunus.

Meski demikian, tercatat ada enam perusahaan yang progres pembangunan smelternya tidak sesuai target. Lima diantaranya dikenai sanksi penghentian sementara izin ekspor, yakni PT Surya Saga Utama (Nikel), PT Genba Multi Mineral (Nikel), PT Modern Cahaya Makmur (Nikel), PT Integra Mining Nusantara (Nikel) dan PT Lobindo Nusa Persada (Bauksit).

Sementara, satu perusahaan lainnya dikenai sanksi pencabutan izin ekspor, yaitu PT Gunung Bintan Abadi (Bauksit). Yunus bilang, pihaknya akan terus mengevaluasi dan menindak tegas perusahaan yang tidak patuh terhadap ketentuan pembangunan smelter.

Langkah itu, sambung Yunus, justru dimaksudkan untuk menunjukkan komitmen dalam pembangunan smelter dan hilirisasi mineral. "Jadi mana saja perusahaan yang betul serius membangun smelter, mana yang tidak. Intinya kita akan tegas, harus dimengerti kewajiban membangun smelter jalan terus" tegas Yunus.

Karenanya, Yunus yakin sekalipun target 57 smelter pada tahun 2022 tidak seluruhnya tercapai, roadmap hilirisasi dan penghentian ekspor mineral mentah tidak akan terganggu. Sebab, kewajiban membangun smelter tetap akan terus berlanjut.

Terlebih, kata Yunus, dari sisi keekonomian perusahaan akan tetap menyelesaikan pembangunan smelter yang memakan biaya investasi tinggi. "Kewajiban membangun (smelter) jalan terus, lagi pula kan sudah hampir jadi pasti tanggung kalau nggak selesai. Kan sayang investasinya," terangnya.

Namun, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menegaskan, pihaknya akan mencabut izin ekspor dari perusahaan yang belum menyelesaikan pembangunan smelter pada tahun 2022. "Jadi kalau nggak tercapai ya dia (perusahaan) nggak bakal bisa ekspor," kata Bambang saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Kamis (9/5) malam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×