Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) menilai penciutan wilayah konsesi pertambangan bisa berdampak terhadap pengendalian produksi batubara nasional. Penciutan wilayah juga bisa dijadikan pemerintah sebagai Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Seperti diketahui, setelah berubah status menjadi IUPK kelanjutan operasi, Kementerian ESDM telah memangkas luas konsesi tambang batubara PT Arutmin Indonesia sebanyak 40,1% dibanding luas wilayah saat masih berstatus PKP2B.
Ketua IMEF Singgih Widagdo meyakini, dalam memutuskan luasan penicutan wilayah, Kementerian ESDM telah mempertimbangkan sejumlah hal. Terutama terkait dengan sebaran lapisan (seam) batubara, rencana produksi yang diproyeksikan Arutmin selama memegang IUPK, serta total produksi nasional yang telah direncanakan pemerintah.
Baca Juga: Bukit Asam (PTBA) kaji peluang akuisisi eks lahan Arutmin yang diciutkan
Termasuk aspek lingkungan seperti sebaran jenis hutan lindung yang ada di wilayah tersebut. "Mungkin selain luasan IUPK Arutmin sendiri, Pemerintah juga mempertimbangkan atas WPN yang mungkin mulai harus dilakukan," sebut Singgih kepada Kontan.co.id, Selasa (17/11).
Dengan memiliki WPN, dia menilai ketahanan strategis energi nasional terkait kebutuhan batubara bisa menjadi lebih baik. Sehingga, tidak sebatas bergantung pada kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Dengan WPN, secara fisik pemerintah memiliki wilayah.
Kata Singgih, WPN juga dapat diusahakan sebagian atau seluruh luasan dengan persetujuan DPR RI. Nantinya, status WPN bisa berubah menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK).
Dari berbagai pertimbangan tersebut, dia yakin keputusan pemerintah soal penciutan luas wilayah sudah tepat. "Jadi keputusan terintegrasi dari berbagai alasan. Kondisi geologi, mining plan, kondisi hutan yang ada, rencana produksi baik korporasi atau target produksi nasional, dan mungkin mempertimbangkan WPN yang harus dimiliki oleh Pemerintah," terang Singgih.
Singgih pun memberikan catatan, dengan jumlah pelaku usaha pertambangan batubara yang sangat banyak, pengendalian produksi justru dibutuhkan. Dari sisi pengendalian produksi, bisa dimulai dari sektor hulu, seperti dengan luasan pertambangan yang diberikan setelah mempertimbangkan sejumlah hal di atas.
"Seperti luasan yang diberikan setelah mempertimbangkan operasi penambangan yang dapat dikerjakan dengan kaidah good mining practice, target produksi perusahaan dan total produksi nasional," pungkas Singgih.
Sebagai informasi, Arutmin sendiri sebelumnya berstatus sebagai pemegang PKP2B yang masa kontraknya sudah berakhir pada 1 November 2020.
Baca Juga: Arutmin Indonesia diberi IUPK hingga 2030, wilayah tambangnya diciutkan 40,1%
Lalu, pada 2 November 2020, pemerintah melalui Menteri ESDM telah memberikan perpanjangan izin operasi 10 tahun pertama, sehingga status Arutmin kini berubah menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian.
Arutmin bisa melanjutkan operasi selama 10 tahun ke depan, lalu bisa diperpanjang untuk 10 tahun berikutnya. Merujuk pada Pasal 169 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba), Arutmin bisa mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 tahun, dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Perusahaan batubara yang terafiliasi dengan Bakrie Group itu memiliki tambang yang berlokasi di Satui, Senakin, Batulicin, dan Asam-asam, Kalimantan Selatan dengan luas mencapai 57.107 hektare (ha). Dengan penciutan 40,1% maka wilayah konsesi Arutmin berkurang sekitar 22.900 ha. Dengan begitu, luas wilayah konsesinya kini tinggal sekitar 34.207 ha.
Selanjutnya: Arutmin kantongi IUPK dan perpanjangan operasi 10 tahun, begini kata bos BUMI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News