Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) menyoroti sederet tantangan yang mengganjal industri baja nasional. KRAS meminta sejumlah dukungan melalui penyehatan korporasi serta kebijakan pemerintah untuk memperkuat industri baja Indonesia.
Direktur Utama KRAS, Akbar Djohan mengungkapkan secara statistik, kebutuhan baja di Indonesia terus meningkat. Baja berperan vital dalam pembangunan, termasuk untuk proyek strategis nasional, ketahanan energi, proyek manufaktur dan hilirisasi mineral, industri otomotif, industri pertahanan, hingga pembangunan perumahan untuk program 3 juta rumah.
Hanya saja, industri baja nasional masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, tekanan dari produk impor. Akbar menggambarkan, sekitar 40% - 55% kebutuhan baja nasional masih dipenuhi oleh impor, atau setara dengan Rp 80 triliun per tahun.
Kedua, pemanfaatan kapasitas produksi atau tingkat utilisasi industri baja nasional saat ini terbilang mini, yakni di bawah 57%. Menurut Akbar, kondisi ini jauh dari standar ideal pada level 80%.
Ketiga, dalam skala global, industri baja sedang menghadapi tekanan besar akibat kelebihan pasokan (oversupply) dari China. Negeri Tirai Bambu itu mendongkrak ekspor baja sebagai upaya menekan kelebihan pasokan domestik, sehingga mengakibatkan penurunan harga dan margin industri baja dunia.
Ekspor baja China meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 2022 hingga 2024, dari 67 juta ton menjadi 117 juta ton per tahun. Sekitar 53% dari jumlah tersebut diekspor ke negara berkembang, khususnya ke negara di Asia atau sekitar 40 juta ton - 48 juta ton per tahun.
Akbar melanjutkan, pemerintah Indonesia saat ini baru menerapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk produk Hot Rolled Plate (HRP) dan Hot Rolled Coil (HRC). Namun, produk Cold Rolled Coil (CRC) dan baja hilir masih minim proteksi jika dibandingkan dengan beberapa negara yang telah menerapkan proteksi tarif impor yang kuat.
Negara-negara di ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, dan juga Uni Eropa telah menerapkan tarif impor setidaknya 20%. Amerika Serikat bahkan menerapkan tarif impor hingga 265,79% untuk CRC dan 137,76% untuk produk baja hilir.
"Berdasarkan pengalaman Krakatau Steel dalam mencari mitra kerja sama, hal pertama yang mereka tanyakan adalah bagaimana proteksi baja impor di Indonesia. Jika proteksi tidak kuat, mereka lebih memilih impor ke Indonesia dibandingkan dengan berinvestasi di Indonesia," ujar Akbar dalam keterangan tertulis kepada Kontan.co.id, Senin (6/10).
Akbar, yang juga menjabat sebagai Ketum Umum Asosiasi Industri Besi & Baja Indonesia atau Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA) ini menegaskan bahwa paradigma persaingan industri baja global bukan lagi antara perusahaan berhadapan dengan perusahaan. Melainkan antara kebijakan pemerintah berhadapan dengan kebijakan pemerintah dalam melindungi industri baja dalam negerinya.
Secara korporasi, Akbar menjelaskan Krakatau Steel Group sebagai perusahaan baja plat merah, mengusung tiga inisiatif dalam program penyehatan. Pertama, membangun bisnis core steel yang berkelanjutan dengan melakukan penguatan pada fasilitas produksi Hot Strip Mill (HSM) dan Cold Rolling Mill (CRM), sembari melakukan efisiensi biaya menyeluruh untuk meningkatkan daya saing.
Kedua, melakukan pengembangan bisnis infrastruktur dan hilir (downstream), di antaranya pengembangan kawasan industri dan fasilitas penunjang hingga optimalisasi hilirisasi produk baja. Ketiga, restrukturisasi keuangan, di antaranya dengan dukungan pendanaan modal kerja dari Danantara hingga restrukturisasi utang.
Dalam upaya penyehatan dan memperkuat industri baja domestik, Krakatau Steel Group meminta lima dukungan dari berbagai pihak. Pertama, restrukturisasi utang dan modal kerja. Akbar bilang, dukungan modal kerja diperlukan untuk keberlangsungan operasi.
Baca Juga: Krakatau Steel (KRAS) Gelar RUPS, Tunjuk Petinggi Bentoel Jadi Komisaris Utama
Kedua, percepatan recovery Krakatau Steel. "Menjadikan Krakatau Steel Group sebagai "one stop services" rantai pasok baja nasional, melalui kolaborasi dengan swasta hingga koperasi," imbuh Akbar.
Ketiga, pengendalian tata niaga impor. Akbar meminta agar impor baja hanya dilakukan jika kebutuhan produk tersebut tidak dapat dipenuhi oleh produsen di dalam negeri. Keempat, perlindungan pasar baja domestik. Melalui percepatan penerapan instrumen proteksi berupa BMAD, safeguard melalui Bea Masuk Imbalan (countervailing duty), hingga Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).
Kelima, hilirisasi dan sinergi industri. Di antaranya melalui dukungan pengembangan hilirisasi baja untuk industri perkapalan, alat militer, transportasi, serta program 3 juta rumah. Akbar bilang, paparan mengenai kondisi dan tantangan industri baja, serta dukungan yang diminta oleh KRAS tersebut telah disampaikan kepada Komisi VI DPR RI pada Selasa (30/9) pekan lalu.
Baca Juga: Kolaborasi Tata Metal dan Krakatau Steel (KRAS) Ekspor Baja Lapis ke AS
Komisi VI DPR RI turut berkomitmen mendukung upaya menyehatkan dan melindungi industri baja nasional. Dukungan itu termasuk dengan persetujuan pelaksanaan dan percepatan restrukturisasi utang dan penyediaan modal kerja oleh Danantara senilai US$ 500 juta, yang akan diberikan secara bertahap untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku operasional perusahaan.
Komisi VI DPR RI juga mendukung pengendalian tata niaga impor, percepatan penerapan instrumen perlindungan pasar baja domestik, serta pelaksanaan hilirisasi produk baja melalui sinergi dengan berbagai industri.
Dukungan ini diharapkan bisa mendorong peran Kraktau Steel Group sebagai one stop service atau kepanjangan tangan pemerintah dalam rantai pasok baja nasional.
Selanjutnya: Goldman Sachs Naikkan Proyeksi Harga Emas 2026 ke US$4.900 per Ons
Menarik Dibaca: Bitcoin Rekor All Time High US$ 126.000, Ditaksir Menuju US$ 165.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News