kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.596.000   -9.000   -0,35%
  • USD/IDR 16.805   35,00   0,21%
  • IDX 8.644   106,34   1,25%
  • KOMPAS100 1.196   14,99   1,27%
  • LQ45 852   6,61   0,78%
  • ISSI 309   4,03   1,32%
  • IDX30 439   3,37   0,77%
  • IDXHIDIV20 514   3,08   0,60%
  • IDX80 133   1,39   1,06%
  • IDXV30 139   1,20   0,87%
  • IDXQ30 141   0,87   0,62%

Industri Baja Nasional Masih Tertekan pada 2026, Impor Kuasai 55% Pasar


Senin, 29 Desember 2025 / 15:31 WIB
Industri Baja Nasional Masih Tertekan pada 2026, Impor Kuasai 55% Pasar
ILUSTRASI. Manufaktur baja nasional diproyeksikan masih berada dalam tekanan pada 2026. IISIA menilai konsumsi domestik belum pulih sepenuhnya (Dok/Kemenperin)


Reporter: Leni Wandira | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Manufaktur baja nasional diproyeksikan masih berada dalam tekanan pada 2026. Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) menilai konsumsi domestik belum pulih sepenuhnya, sementara tekanan impor baja tetap tinggi dan mendominasi pasar dalam negeri.

Direktur Eksekutif IISIA Harry Warganegara menyampaikan bahwa pada 2026 porsi baja impor diperkirakan mencapai sekitar 55% dari kebutuhan nasional. Kondisi tersebut menekan utilisasi pabrik manufaktur baja dalam negeri hingga berada di kisaran 50%.

“Memasuki tahun 2026, industri baja nasional diproyeksikan masih berada dalam kondisi yang menantang. Konsumsi domestik diperkirakan belum pulih sepenuhnya, sektor konstruksi masih melemah, sementara tekanan impor tetap tinggi dan mencapai sekitar 55% dari kebutuhan nasional,” ujar Harry kepada Kontan, Senin (29/12/2025).

Ia menjelaskan, dominasi produk baja impor, terutama dari Tiongkok, telah mempersempit ruang pemulihan manufaktur baja nasional. Tekanan tersebut membuat margin dan output produksi berisiko stagnan bahkan menurun apabila tidak direspons melalui kebijakan yang kuat dan konsisten.

Baca Juga: Transisi Teknologi dan Kebijakan Strategis untuk Masa Depan Industri Baja Nasional

Sepanjang 2025, tekanan terhadap manufaktur baja nasional semakin berat dibandingkan tahun sebelumnya. Hingga triwulan III 2025, volume impor baja tercatat mencapai 4,83 juta ton, meningkat 15,6% dibandingkan periode yang sama tahun 2024 sebesar 4,18 juta ton.

Harry menuturkan, lonjakan impor tersebut terutama berasal dari Tiongkok dan didorong oleh disparitas harga akibat kebijakan subsidi di negara asal. Produk impor masuk ke pasar domestik dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan produk dalam negeri.

“Utilisasi pabrik domestik saat ini hanya berada di kisaran 52%, jauh di bawah tingkat ideal industri yang berada pada level sekitar 80%,” katanya.

Salah satu indikator tekanan terhadap manufaktur baja nasional terlihat dari pergerakan harga Hot Rolled Coil (HRC) asal Tiongkok yang terus menurun, dari US$ 858 per ton pada 2022 menjadi sekitar US$ 549 per ton hingga triwulan III 2025.

Seiring dengan itu, pangsa impor HRC asal Tiongkok meningkat dari 8% pada 2022 menjadi sekitar 32% pada kuartal III 2025.

Tekanan berkepanjangan tersebut berdampak pada keberlanjutan manufaktur baja nasional dan penyerapan tenaga kerja. IISIA mencatat salah satu contoh nyata adalah penutupan pabrik PT Ispat Indo pada 25 Agustus 2025.

Baca Juga: Ancaman Impor Baja China Bisa Tekan Produksi Dalam Negeri Hingga 2026

Perusahaan dengan kapasitas produksi sekitar 700 ribu ton per tahun dan tenaga kerja sekitar 700 orang tersebut menghentikan operasinya akibat tekanan pasar yang berkepanjangan.

“Penurunan utilisasi yang berkepanjangan tidak hanya melemahkan daya saing industri baja nasional, tetapi juga mengganggu keberlanjutan investasi, stabilitas operasional pabrik, serta meningkatkan potensi PHK,” ujar Harry.

Meski prospek manufaktur baja pada 2026 masih berat, IISIA menilai terdapat potensi katalis pertumbuhan dari sektor-sektor tertentu, seperti otomotif, alat berat, dan perkapalan.

Namun, peluang tersebut hanya dapat dimanfaatkan apabila produsen baja domestik mampu menyediakan produk dengan spesifikasi, kualitas, dan volume sesuai kebutuhan industri hilir.

Dengan kondisi tersebut, IISIA menilai prospek manufaktur baja nasional dalam 12–18 bulan ke depan akan sangat ditentukan oleh efektivitas kebijakan pemerintah dalam mengendalikan impor, memperkuat pengamanan perdagangan, serta mendorong sinergi antara industri baja hulu dan hilir.

IISIA menekankan perlunya pengendalian arus impor agar selaras dengan ketersediaan produksi dalam negeri. Impor perlu dibuka secara selektif dan terukur, hanya untuk produk baja yang belum dapat diproduksi di dalam negeri.

Baca Juga: Kemenperin Optimistis Industri Baja Bisa Jadi Tulang Punggung Ekonomi 2026

Selain itu, pemerintah didorong memperkuat hambatan masuk produk impor melalui instrumen trade remedies, penegakan SNI Wajib, dan implementasi kebijakan P3DN secara konsisten.

IISIA juga menilai implementasi Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi industri besi dan baja perlu dijalankan secara konsisten untuk menekan biaya energi dan meningkatkan daya saing manufaktur baja nasional.

Ke depan, IISIA mendorong arah kebijakan dan investasi pada transformasi menuju industri baja yang lebih efisien dan berkelanjutan guna memperkuat fondasi pertumbuhan jangka panjang industri manufaktur baja nasional.

Selanjutnya: Buruh Gugat UMP DKI 2026 ke PTUN, KSPI: Tak Sesuai Kebutuhan Hidup Layak

Menarik Dibaca: Banyak Kasus Perundungan, Ini Dampak Psikologis Bullying

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×