kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.501.000   -95.000   -3,66%
  • USD/IDR 16.785   -20,00   -0,12%
  • IDX 8.647   2,68   0,03%
  • KOMPAS100 1.194   -2,61   -0,22%
  • LQ45 847   -5,47   -0,64%
  • ISSI 309   -0,04   -0,01%
  • IDX30 437   -2,15   -0,49%
  • IDXHIDIV20 510   -4,16   -0,81%
  • IDX80 133   -0,62   -0,47%
  • IDXV30 139   0,36   0,26%
  • IDXQ30 140   -0,77   -0,54%

Industri Perhotelan Diprediksi Masih Tertekan pada 2026, Ini Sebabnya


Selasa, 30 Desember 2025 / 19:46 WIB
Industri Perhotelan Diprediksi Masih Tertekan pada 2026, Ini Sebabnya
ILUSTRASI. Industri perhotelan pada 2026 ditaksir masih dibayangi tekanan, seiring belum pulihnya kinerja okupansi (FOUR POINTS HOTEL/PRESS RELEASE)


Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Industri perhotelan pada 2026 ditaksir masih dibayangi tekanan, seiring belum pulihnya kinerja okupansi dan berlanjutnya pembatasan belanja pemerintah yang selama ini menjadi penopang utama permintaan.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, mengungkapkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat hunian kamar hotel secara nasional hingga Oktober 2025 masih mengalami kontraksi.

Okupansi hotel tercatat turun 4,43% YoY, dengan rata-rata tingkat hunian tahun 2025 hingga Oktober hanya mencapai 48,07%, lebih rendah dibandingkan rata-rata 2024 yang berada di kisaran 52,50%.

Kondisi tersebut menurut Maulana menunjukkan industri perhotelan masih kehilangan momentum pemulihan, meski tingkat okupansi saat ini sedikit lebih baik dibandingkan kondisi pada 2022.

Baca Juga: PHRI Jakarta Minta Perda Kawasan Tanpa Rokok Tak Ganggu Iklim Usaha Pariwisata

“Karena memang tahun 2025 ini kita di industri hotel itu banyak kehilangan pasar, khususnya pasar terbesar kita yang berkontribusi terhadap revenue itu dari kegiatan pemerintah,” ucap Maulana kepada Kontan, Selasa (30/12/2025).

Ia menjelaskan, kontribusi pasar pemerintah terhadap pendapatan hotel sangat bervariasi, mulai dari 40% hingga 60%, bahkan di sejumlah daerah bisa mencapai 80%. Akibat berkurangnya aktivitas tersebut, industri perhotelan bukan hanya mengalami penurunan okupansi, tetapi juga kehilangan pendapatan yang cukup besar.

Menghadapi 2026, PHRI berharap ada perubahan kebijakan yang dapat menopang kinerja industri. Salah satu harapan utama adalah percepatan realisasi belanja pemerintah, khususnya di awal tahun.

Menurut Maulana, tekanan penurunan okupansi yang cukup dalam telah berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan ketahanan operasional hotel.

Selain itu, PHRI juga mendorong pemerintah kembali menggerakkan pasar Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions (MICE), baik nasional maupun internasional. Aktivitas MICE dinilai menjadi penopang penting industri pariwisata di berbagai daerah, bukan hanya di destinasi utama seperti Bali dan Jakarta.

“Jadi kita tidak bisa melihatnya itu hanya menggunakan indikator peningkatan angka wisatawan mancanegara (wisman) saja karena kan yang menerima wisman terbesarnya cuma Bali dan Jakarta saja, sementara kita punya 500-an kabupaten dan kota yang sangat bergantung ekonominya dari pergerakan atau perjalanan wisatawan nusantara juga,” tutur Maulana.

Ia juga menyoroti mahalnya harga tiket pesawat yang dinilai menghambat pemerataan pergerakan orang antarwilayah. Sebagai negara kepulauan, transportasi udara menurutnya menjadi jembatan penting bagi mobilitas ekonomi.

Jika harga tiket tetap tinggi, pergerakan masyarakat berpotensi terus terkonsentrasi di Pulau Jawa, sehingga daerah lain sulit merasakan dampak ekonomi dari sektor pariwisata dan perjalanan.

Dari sisi proyeksi okupansi 2026, PHRI menilai ruang pertumbuhan masih terbatas apabila program efisiensi anggaran dan pola belanja pemerintah tidak berubah.

Baca Juga: PHRI Nilai Usulan WFA Akhir Tahun Jadi Angin Segar Industri Pariwisata

Maulana menekankan, menggantikan pasar pemerintah bukanlah perkara mudah, karena tidak semua daerah memiliki daya tarik wisata yang cukup kuat untuk menopang perekonomian secara mandiri.

“Jadi ini menjadi satu PR besar bagi pemerintah bahwa faktanya negara kita memang belum siap untuk setiap daerah itu independen tanpa adanya bantuan dari APBN untuk menggerakkan ekonominya. Dan salah satu penggerakan ekonominya itu adalah ya aktivitas pemerintah itu di setiap daerah,” imbuh Maulana.

PHRI juga mengingatkan, ekonomi daerah sangat erat kaitannya dengan pergerakan orang. UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional sebagian besar hidup dari aktivitas perjalanan, baik perjalanan bisnis maupun wisata. Selama mobilitas tersebut terhambat, pemulihan ekonomi daerah, termasuk sektor perhotelan, dinilai PHRI akan berjalan lambat.

Arief Rahardjo, Director Strategic Consulting Cushman & Wakefield Indonesia, menaksir operator hotel pada tahun 2026 akan berfokus pada diversifikasi pasar dan inovasi produk layanan.

“Hotel-hotel yang sebelumnya berfokus pada tamu dari instansi pemerintah dan badan usaha milik negara kini meningkatkan layanan dan produk mereka untuk menarik tamu dari perusahaan swasta, asosiasi profesi, komunitas, dan partai politik,” ujar Arief.

Beberapa segmen hotel dinilai Arief berpotensi pulih lebih cepat. Misalnya, hotel bintang 5 yang mengandalkan merek global dan tamu free independent traveler (FIT), serta segmen hotel bintang 3 yang didukung oleh acara non-MICE seperti konser musik, maraton, dan acara nasional maupun internasional lainnya di Jakarta.

Adapun pada akhir tahun 2025, tingkat hunian alias okupansi menurut Cushman & Wakefield Indonesia akan mencapai 65%, turun 3% YoY.

Perusahaan mencatat, okupansi berdasarkan kategori hotel bintang 3 (midscale) sebesar 64%, hotel bintang 4 (upper-midscale) sebesar 65%, hotel bintang 5 (upper & upper-upper) sebesar 66%, dan hotel mewah (luxury) sebesar 61%.

Baca Juga: PHRI NTB Akui Okupansi Hotel Sedikit Turun di MotoGP Mandalika 2025

Untuk mendorong pemulihan, Ketua Umum The Housing Urban Development (HUD) Institute, Zulfi Syarif Koto, menyarankan pembenahan internal di sektor perhotelan, termasuk peningkatan efisiensi operasional tanpa melakukan pemutusan hubungan kerja.

Selain itu, Zulfi berharap pemerintah dapat memberikan insentif untuk meringankan beban usaha hotel, mulai dari pajak yang ditanggung pemerintah hingga keringanan biaya utilitas seperti listrik, air, dan gas.

Dengan struktur biaya yang lebih rendah, Zulfi menilai hotel memiliki ruang untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja sekaligus menjaga keberlanjutan usaha.

Ia juga melihat peluang pemulihan pada 2026 lebih terbuka bagi hotel kelas menengah ke bawah. “Karena kan dia harga murah dan harga terjangkau, tapi pelayanannya bagus dan efisien,” pungkas Zulfi.

Selanjutnya: Akses Mineral Kritis Indonesia Dibuka, Peluang Ekspor Nikel Terhambat Aturan EV AS

Menarik Dibaca: 5 Kesalahan Pakai Cleansing Balm yang Harus Dihindari, Bikin Komedoan!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×