Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri properti Indonesia diperkirakan masih menghadapi tekanan pada 2026 seiring kondisi ekonomi domestik yang belum sepenuhnya pulih.
Wakil Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Bambang Ekajaya melihat, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan terbatasnya insentif bagi dunia usaha menjadi faktor yang menahan laju sektor properti.
Tekanan eksternal juga kata dia kian besar akibat kebijakan proteksionis Amerika Serikat serta konflik global dan regional yang belum mereda, sehingga berpotensi menekan sentimen pasar dalam negeri.
“Dua perang belum selesai, bahkan di ASEAN ada perang Thailand versus Kamboja, pasti berpengaruh besar ke negara kita,” ujar Bambang kepada Kontan, Kamis (11/12/2025).
Baca Juga: Pasar Properti Daerah Lesu, REI Soroti Lemahnya Daya Beli dan Oversuplai
Meski begitu, lanjut Bambang, sejumlah pelaku industri menilai sektor rumah subsidi masih akan menjadi penopang utama bisnis tahun depan.
Program Asta Cita pemerintah yang membidik pembangunan tiga juta hunian per tahun diproyeksi jadi pendorong pertumbuhannya, khususnya lewat skema Fasilitas Likuiditas Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Pasca target 350.000 unit tahun ini, realisasi FLPP diharapkan REI dapat meningkat menjadi 500.000 unit atau lebih pada 2026, dengan catatan perbankan mampu menyediakan akses Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi yang lebih mudah.
Bambang berharap, penyediaan hunian vertikal bersubsidi atau rumah susun sederhana milik (rusunami) dengan patokan harga yang sesuai segera digalakkan pemerintah.
Baca Juga: REI: KUR Perumahan Dorong Peran Pengembang Menengah Capai Target 3 Juta Rumah
Bambang mengamati, pengembang masih enggan membangun hunian jenis ini mengingat harga jual yang ditetapkan pemerintah sekitar Rp 250 juta hingga Rp 360 juta per unit, atau sekitar Rp 8 juta per meter persegi, tidak sebanding dengan biaya konstruksi yang sudah menyentuh Rp 10 juta per meter persegi.
“Membangun rusunami dengan apartemen biayanya sama karena faktor risiko bangunan bertingkat tinggi tidak bisa ditawar-tawar, ini menyangkut ribuan nyawa yang akan tinggal,” imbuh Bambang.
Dus, penyesuaian harga rusunami subsidi menjadi krusial, mengingat hunian vertikal yang terjangkau sangat dibutuhkan masyarakat urban, termasuk generasi Z, sekaligus mendukung konsep transit oriented development (TOD) untuk mengurangi kemacetan di kota besar.
Untuk saat ini hingga beberapa waktu ke depan, yang dapat pengembang lakukan menurut Bambang adalah fokus pada penyediaan rumah subsidi yang terjangkau dengan kualitas bangunan yang lebih baik, sembari memperkuat pemasaran ke segmen yang tepat.
Baca Juga: REI: Bisnis Properti Melambat, tapi Potensinya Masih Sangat Besar
Selanjutnya: Pengusaha Batubara Bicara Soal Insentif Ideal di Proyek DME
Menarik Dibaca: 6 Manfaat Tinted Lip Balm Bukan Sekadar Pelembab Bibir
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













