kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.307.000   8.000   0,35%
  • USD/IDR 16.680   -27,00   -0,16%
  • IDX 8.391   -3,35   -0,04%
  • KOMPAS100 1.160   -7,83   -0,67%
  • LQ45 845   -8,63   -1,01%
  • ISSI 290   -0,83   -0,29%
  • IDX30 444   -0,53   -0,12%
  • IDXHIDIV20 511   -2,43   -0,47%
  • IDX80 131   -0,99   -0,75%
  • IDXV30 138   -0,38   -0,28%
  • IDXQ30 140   -0,92   -0,65%

Daya Beli Lesu, Properti RI Stagnan Meski Diguyur Insentif Pemerintah


Senin, 10 November 2025 / 20:20 WIB
Daya Beli Lesu, Properti RI Stagnan Meski Diguyur Insentif Pemerintah
ILUSTRASI. Unit perumahan CitraGarden Serpong yang dikembangkan PT Ciputra Residence, anak usaha PT Ciputra Development Tbk (CTRA).


Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri properti masih belum unjuk gigi meski telah dihujani insentif dan pemangkasan suku bunga acuan. Sejumlah analis menilai, akar masalahnya terletak pada daya beli masyarakat yang masih lesu.

Survei Harga Properti Bank Indonesia pada kuartal III 2025 mencatat, Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) tumbuh sebesar 0,84% secara tahunan (YoY), lebih rendah ketimbang kuartal sebelumnya sebesar 0,90% (YoY). 

Seiring dengan itu, penjualan properti residensial di pasar primer terkontraksi sebesar 1,29% YoY, namun lebih baik bila dibandingkan kuartal sebelumnya yang menurun 3,80% YoY.

Hal ini bisa dilihat pada PT Ciputra Development Tbk (CTRA). Direktur Ciputra Group, Harun Hajadi mengatakan, realisasi penjualan tahun ini cenderung lesu dan belum menampakkan adanya pertumbuhan. Hingga September, CTRA realisasi penjualan CTRA baru mencapai sekitar 75% dari target yang sudah direvisi hingga September, yakni mencapai Rp 7,5 triliun

“Faktor terbesar adalah economic growth, kita property kan belakangan, setelah ada growth baru kita terikut,” terang Harun kepada Kontan, Senin (10/11/2025).

Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menuturkan, pelemahan memang terasa di kalangan pelaku bisnis properti, khusunya menjelang kuartal III 2025. Padahal, pada awal tahun sektor ini sempat mencatat pertumbuhan penjualan dua digit. 

Baca Juga: Ekonomi Lesu, Properti Ikut Terpuruk: Solusi Jitu Dorong Pembelian Rumah

Menurutnya, persoalan utama datang dari daya beli masyarakat yang belum pulih, yang membuat berbagai insentif belum mampu mendorong penjualan secara signifikan. 

Padahal, pemerintah sudah mengguyur beberapa stimulus untuk menopang industri properti, mulai dari perpanjangan insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk rumah hingga 2027 hingga program Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan yang menyasar konsumen maupun pengembang menengah. Dalam program tersebut, pengembang bisa mendapatkan pembiayaan hingga Rp 20 miliar dengan subsidi bunga sebesar 6%.

“Artinya pemerintah sudah banyak berbuat untuk mengakselerasi pertumbuhan sektor properti, hanya problem-nya ada di daya beli masyarakat yang menurun sehingga mengurangi minat masyarakat membeli rumah,” kata Bambang saat dihubungi Kontan, Senin (10/11/2025).

Setali tiga uang, Pengamat Properti Colliers, Aleviery Akbar menilai kondisi sektor properti residensial pada kuartal III 2025 memang masih dibayangi pelemahan permintaan akibat daya beli masyarakat. Walau begitu, justru dari sisi harga pasar menurutnya masih relatif stabil.

“Pembeli maupun developer masih pada posisi wait & see menunggu momentum pertumbuhan ekonomi membaik,” ucap Aleviery.

Baca Juga: Pasar Properti Lesu, Begini Strategi Ciputra (CTRA) Optimalkan Kinerja

Lebih lanjut, ia menilai sejumlah faktor struktural menghambat laju penjualan di pasar residensial. Pertama, kenaikan harga bangunan akibat peningkatan biaya material konstruksi dan tenaga kerja. Kedua, tingginya suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang membuat cicilan rumah terasa berat. Ketiga, perizinan dan birokrasiyang masih berbelit, terutama untuk proyek baru.

Keempat, tingginya proporsi uang muka (down payment) yang diwajibkan perbankan untuk pengajuan KPR. Kelima, beban perpajakan, termasuk PPN dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang turut menekan minat beli masyarakat. “Jika faktor-faktor tersebut bisa diminimalisir maka hambatan bisa dikurangi,” tambahnya.

Aleviery juga mengomentari soal kebijakan moneter dan fiskal yang sudah diterapkan pemerintah. Menurutnya, meski BI telah menurunkan suku bunga acuan hingga lima kali tahun ini, dampaknya belum terasa nyata di lapangan. Sebab, pemangkasan tersebut tak diiringi dengan penurunan suku bunga KPR bank.

Perbankan hanya memberi bunga tetap (fixed rate) rendah sekitar 3%–5% untuk satu sampai tiga tahun pertama, lalu kembali ke sistem floating. Saat ini, lanjut Aleviery, suku bunga KPR untuk tenor di bawah 10 tahun masih berkisar 8–9%, dan bahkan di atas 10% untuk tenor 15–20 tahun. 

Oleh karena itu, ia menilai insentif PPN DTP memang membantu, tapi belum cukup untuk menggerakkan pasar secara signifikan tanpa dukungan dari sisi pembiayaan. 

Baca Juga: Pasokan Properti Ritel Jakarta di Kuartal III-2025 Stagnan, Okupansi Turun Tipis

Bambang menimpali, keterbatasan implementasi PPN DTP yang hanya berlaku bagi unit rumah siap huni (ready stock) juga turut menjadi penghambat lain. Saat ini, insentif PPN DTP hanya berlaku untuk rumah yang sudah jadi (ready stock). Artinya, pembeli baru bisa dapat insentif jika rumahnya sudah siap huni. Akibatnya, banyak proyek indent atawa rumah yang masih dalam proses pembangunan tidak bisa menikmati fasilitas ini, padahal penjualan indent cukup besar di pasar perumahan. 

Selain soal daya beli, Ketua Umum The Housing Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto juga menyoroti persoalan jarak rumah subsidi yang jauh dari pusat perkotaan sebagai salah satu penghambat lain, sehingga biaya transportasi yang mesti dikeluarkan juga tinggi. Padahal menurutnya, minat masyarakat untuk memiliki rumah sebetulnya besar.

Selain itu, maraknya pinjaman daring dan mekanisme pembayaran buy now pay later (BNPL) membuat banyak masyarakat yang mengajukan KPR tidak lolos sejak tahap BI-checking. Dus, mereka gagal memiliki rumah.

Dari sisi penjualan properti nonsubsidi atau komersial, yang kerap diserap masyarakat kelas menengah atas, juga turut Bambang soroti tren pelemahannya. Penyebabnya lagi-lagi persoalan ekonomi, yang kali ini juga menyentuh kelas menengah atas. “Jadi memang ini kelas menengah bawah saja lagi sesak napas, ya, begitu juga kelas menengah atas,” ujarnya.

Baik Bambang, Aleviery, maupun Zulfi sepakat bahwa prospek properti masih sangat bergantung pada pemulihan ekonomi nasional. Bila target pertumbuhan ekonomi tahun ini dapat tercapai, mereka optimistis pasar properti akan berangsur pulih.

Baca Juga: Developer Gencar Luncurkan Produk Premium pada Akhir Tahun, Ini Alasannya

Bambang pun mengusulkan penurunan BPHTB dari 5% menjadi 2,5% untuk rumah non-subsidi agar minat beli meningkat. 

Aturan insentif PPN DTP juga kata Bambang perlu diperluas untuk rumah indent, tapi dengan syarat waktu pembangunan maksimal 6 bulan. Selain itu, ia menekankan pentingnya fasilitas kredit murah bagi generasi Z dan masyarakat non-MBR (masyarakat berpenghasilan rendah).

Sementara itu, Zulfi menyarankan pemerintah untuk membangun public housing atau perumahan yang dibangun dan dibiayai oleh pemerintah yang dekat dengan kawasan perkantoran dan industri. Selain itu, permasalahan harga tanah dan mafianya yang masih merajalela juga perlu diberantas. Sebab, harga tanah berpengaruh hampir 40% terhadap penentuan harga properti.

“Perbankan bisa memberikan suku bungan KPR yang rendah bagi pembeli dan bunga pembiayaan yang rendah juga kepada developer untuk bisa ekspansi bisnisnya. Dengan begitu, properti akan naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional,” timpal Aleviery.

Baca Juga: Industri Properti Indonesia Ekspansi ke Pasar Global, Begini Prospeknya

Selanjutnya: BI Akan Merilis BI-FRN, Bank-Bank Berminat?

Menarik Dibaca: Glico Kolaborasi dengan Hololive Indonesia, Padukan Dunia Nyata dan Virtual

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×