Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) mengingatkan beberapa kewajiban tambahan yang harus ditanggung kawasan industri atau kelompok kawasan industri tertentu jika memutuskan mengimpor gas untuk kebutuhan industri secara mandiri.
"Ya sah-sah saja, tapi harus dipenuhi perizinannya juga, karena ada dari Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, jadi sah-sah saja, kalau memang lebih menguntungkan, kalau memang diperbolehkan," ungkap Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal saat dihubungi, Jumat (21/06).
Meski begitu, Moshe menjelaskan terdapat kewajiban tambahan, jika dibandingkan mendapatkan pasokan gas melalui PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).
Baca Juga: Menperin Buka Opsi Impor Gas untuk Kawasan Industri, Ini Syaratnya
Kewajiban Terhadap Kapasitas Impor LNG
Yang pertama adalah terkait kapasitas impor gas. Moshe bilang impor dari luar negeri artinya gas diimpor dalam bentuk Liquefied Natural Gas (LNG) atau Gas Alam Cair.
Maka pertama, kawasan industri harus menentukan negara mana yang menjadi tujuan eksportir mereka.
"Kalau butuhnya besar dan mereka hitung keekonomiannya masuk, ya monggo saja. Tapi perlu diingat, hitungannya impor itu 1-2 kapal, tidak bisa setengah kapal," ungkap Moshe.
Karena hal ini, Moshe bilang, kawasan industri perlu menghitung dengan cermat kebutuhan LNG untuk periode waktu tertentu. Karena terdapat peraturan minimal pesanan dalam proses impor LNG.
"Kecuali ada perusahaan trading company yang menjalankan itu," tambahnya.
Kewajiban Terhadap Tempat Penyimpanan LNG
Melihat karakteristinya, LNG tidak bisa disimpan terlalu lama, sehingga diperlukan tempat penyimpanan khusus agar LNG yang belum digunakan dapat disimpan dalam bentuk awalnya yaitu cairan atau liquid.
"Dan karakteristik gas, itu tidak bisa disimpan lama-lama, karena itu disimpannya harus berupa liquid (cairan), kalau bukan berupa liquid istilahnya gampang bocor ke udara," kata Moshe.
Biaya penyimpanan, ditambah tindakan pemeliharaan LNG adalah kewajiban tambahan bagi kawasan industri jika memutuskan mengimpor sendiri.
"Biaya maintain-nya mahal sekali, harus punya penyimpanan dingin yang minus sekian derajat agar tidak berubah bentuk, tetap menjadi liquid," ungkap dia.
Baca Juga: Tantangan Pasokan Gas Industri, Pemerintah Buka Opsi Impor untuk Atasi Keterbatasan
Harga Gas Sulit Bersaing dengan HGBT
Moshe juga menekankan bahwa harga yang dibayar untuk mengimpor gas dalam bentuk LNG akan lebih mahal dibandingkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang ditetapkan oleh pemerintah US$ 6-7 per MMBTU.
"Kalau kebutuhan (gas) gak begitu besar, itu jadi banyak biaya tambahan. Dan susah kalau untuk harga LNG impor segitu bisa setara (HGBT)," kata dia.
Dalam perhitungan, selain harga LNG yang saat ini berkisar US$ 3,5 per MMBTU, kawasan industri juga harus memperitungkan biaya pencairan atau liquifaction cost, biaya regasifikasi atau regasification cost, biaya pengiriman dan biaya transportasi.
"Karena itu, LNG bisa mahal, beberapa kali lipat dari HGBT," jelasnya.
Moshe juga menyebut, akan sulit bagi pemerintah memberikan subsidi untuk impor LNG, karena impor yang dilakukan nantinya bersifat Business-to-Business (B2B) antara industri dengan negara pengimpor.
"Kalau industri impor dari luar, itu tidak ada kontrol sama sekali. Sulit pemerintah dimintain untuk subsidi (harga) itu, yang bisa mereka (industri) minta itu subsidi lain, misalnya tax holiday atau sejenisnya," imbuhnya.
Baca Juga: Industri Bisa Impor Gas Sendiri, Cuma Sulit Dapat Harga Gas Murah
Selanjutnya: Kenapa Bunga Lili Perdamaian Tak Kunjung Mekar? Ini 5 Penyebab dan Solusinya
Menarik Dibaca: Kenapa Bunga Lili Perdamaian Tak Kunjung Mekar? Ini 5 Penyebab dan Solusinya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News