Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
“Melihat isi PMK 21/2021 maka kebijakan ini condong menguntungkan perusahaan besar dan memberikan handicap untuk perusahaan SME. Kebijakan ini akan memunculkan un-level playing field antara perusahaan besar dan SME, di mana seharusnya persaingan dilakukan melalui ide, konsep, value dan product bukan melalui subsidi dari pemerintah,” kata William dalam keterangan resminya, Selasa (9/3).
William juga berpendapat bahwa kebijakan ini terkesan tiba-tiba dan tidak pernah diwacanakan sebelumnya sehingga dengan periode Maret-Agustus yaitu 6 bulan, tidak cukup waktu untuk SME dapat membangun rumah siap huni dan memanfaatkan kebijakan ini.
"Dengan kebijakan ini malah takutnya mematikan bukan membantu SME dengan situasi yang sudah sulit sekarang. Saya berharap rumah inden dapat juga masuk sehingga pengembang kecil dan menengah juga dapat merasakan kebijakan ini,” harap William.
Baca Juga: Bumi Serpong Damai (BSDE) sambut positif beragam insentif untuk sektor properti
Hal yang sama juga dikemukan Dimas Laksmana, Owner dari Perumahan Lastana Hills. Menurutnya, developer kecil dan menengah rata-rata melakukan sistem inden. “Untuk kejar pembangunan dari bulan Maret hingga Agustus sangat sulit. Kalau inden dimasukin, ini tentunya akan membantu,” ujar Dimas.
Sementara itu Ali Tranghanda, CEO dari Indonesia Property Watch mengatakan sebagaian besar pengembang kecil dan menengah tidak memiliki banyak stok kerena mereka tidak berani bangun dulu. “Kalau punya stok diuntungkan [pengembang besar] tapi sebagian besar sepertinya tidak ada stok,” ujar Ali.
Ali pun mengaku, dirinya saat ini terus berjuang di Kemenkeu agar kebijakan ini bisa fleksibel. “Kita sih maunya 1 tahun waktunya dan tidak hanya ready stock, tapi inden juga bisa. Termasuk pengurangan BPHTB di Kemendagri,” pungkas Ali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News