Reporter: Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Asosiasi Penggiat Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (Apmeti) mengeluhkan proses memperoleh standar nasional Indonesia (SNI) untuk produsen mainan kategori usaha kecil menengah (UKM).
Apmeti menilai, para UKM mainan anak terbebani dengan besaran biaya dan prosedur untuk mendapatkan SNI. Informasi ini disampaikan oleh Danang Sasongko, Ketua Apmeti kepada KONTAN, Minggu (1/6).
"Untuk mendapatkan SNI, kami harus terlebih dahulu miliki tanda dasar industri (TDI). Nah untuk dapatkan TDI ini juga perlu persyaratan administrasi. Kami ini produsen mainan kelas industri rumahan, tentu surat-surat dan dokumen resmi seperti kami kesulitan," ujar Danang.
Selain itu, untuk mendapatkan TDI, pelaku UKM mainan anak harus merogoh kocek Rp 12 juta. "Pungutan-pungutan tersebut meliputi izin keamanan, legalitas. Hal itu dilakukan di dinas-dinas," keluh Danang.
Setelah peroleh TDI, pelaku UKM mainan anak harus mengeluarkan uang untuk uji produk di laboratorium. Adapun tarifnya adalah Rp 2,5 juta per jenis mainan. Padahal pelaku UKM mainan anak bisa mengajukan lebih dari satu SNI.
Dengan demikian, pelaku UKM mainan anak harus merogoh kocek paling tidak sebesar Rp 14,5 juta untuk peroleh satu SNI saja. Tidak hanya, pihaknya mengeluhkan lama berlakunya SNI tersebut hanya 6 bulan, sehingga harus terus diperpanjang sebelum masa berlakunya habis.
Padahal pihaknya mengatakan untuk peroleh ijin itu sendiri memakan waktu hingga 3 bulan. Biaya perpanjangan SNI itu pun sama besar seperti biaya perolehannya.
Ia mengusulkan, ketimbang memperketat proses administrasi kelengkapan SNI di pelaku UKM mainan anak, lebih baik memperbaiki atau menjamin sumber bahan baku yang sesuai SNI.
"Daripada mempersulit kami, lebih baik pastikan saja bahan baku dari awal yang sesuai SNI. Kalau bahan bakunya sudah sesuai SNI, otomatis produksi kami juga sesuai SNI," ujar Danang.
Meski demikian, pihaknya setuju dengan konsep wajib SNI di industri mainan anak. Danang mengatakan hal itu penting untuk melindungi anak-anak Indonesia dari mainan impor dari Tiongkok yang bahan bakunya banyak yang mengandung bahan beracun.
"Mengajak kami pelaku UKM mainan anak ini untuk memproduksi sesuai standar, menekan impor juga dan memperluas pasar kami karena substitusi impor juga," ujar Danang. Ia hanya mengeluhkan permasalahan teknis di lapangan yang terlalu birokratis dan cenderung mempersulit pelaku UKM untuk dapatkan SNI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News