kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jatam anggap realisasi program reklamasi lahan bekas tambang berjalan lambat


Senin, 13 Januari 2020 / 16:57 WIB
Jatam anggap realisasi program reklamasi lahan bekas tambang berjalan lambat
ILUSTRASI. reklamasi tambang


Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai realisasi program reklamasi lahan bekas tambang yang dijalankan oleh pemerintah masih jauh dari harapan, sehingga diperlukan evaluasi secara mendalam.

Sebelumnya, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), luas lahan bekas tambang yang telah direklamasi pada 2019 silam mencapai 6.748 hektar (Ha). Akan tetapi, jumlah tersebut lebih rendah ketimbang capaian lahan bekas tambang yang direklamasi di tahun sebelumnya yakni 6.950 Ha.

Memasuki tahun ini, pemerintah menargetkan total luas lahan bekas tambang yang direklamasi mencapai 7.000 Ha.

Koordinator Jatam Merah Johansyah mengatakan, hasil tersebut merupakan bentuk inkonsistensi pemerintah dalam menjalankan program reklamasi sekaligus rehabilitasi lingkungan di area bekas tambang.

Baca Juga: Menilik rencana pemerintah ubah lahan bekas tambang jadi ladang energi terbarukan

“Laju reklamasi lahan bekas tambang tidak sebanding dengan laju pemberian izin usaha pertambangan (IUP),” ujar dia kepada Kontan, Minggu (12/1).

Mengutip data di Catatan Akhir Tahun 2019 Jatam, saat ini terdapat 8.588 IUP yang tersebar di seluruh Indonesia. Ini mencakup 44% dari luas daratan Indonesia.

Menurut Merah, terdapat konflik kepentingan dan tumpang tindih wewenang di tubuh Kementerian ESDM dalam menjalankan program tersebut. Pasalnya, selain mengawal proses kegiatan reklamasi lahan bekas tambang, Kementerian ini juga bertindak sebagai pemberi IUP kepada perusahaan-perusahaan tambang.

Lambatnya pertumbuhan realisasi lahan bekas tambang tentu berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat di sekitar. “Kami mencatat ada 129 korban di lubang bekas tambang selama periode 2014-2019,” kata Merah.

Lantas, Jatam menilai, sudah seharusnya wewenang untuk menjalankan program reklamasi lahan bekas tambang diganti dan dialihkan ke kementerian lain yang lebih relevan, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Kesehatan.

Hal ini perlu dilakukan mengingat reklamasi lahan tambang mesti mempertimbangkan banyak aspek. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa aktivitas pertambangan justru menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, seperti pencemaran air dan udara yang berbahaya bagi masyarakat yang tinggal di dekat kawasan tambang.

“Kemenkes mesti melakukan penilaian terkait dampak ekotoksikologi dari kehadiran tambang,” ucap Merah memberi contoh.

Tak ketinggalan, Jatam juga mengkritik RUU Minerba terutama di pasal 99 yang dianggap kurang mendukung kelangsungan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang.

Merah menilai, RUU Minerba justru memungkinkan lahan bekas tambang diperuntukkan sebagai objek wisata seperti kolam ikan. Hal ini bertentangan dengan tujuan reklamasi yakni untuk memulihkan kondisi lahan bekas tambang seperti sedia kala sebelum dilakukan eksplorasi dan eksploitasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×