Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jelang tutup tahun, target energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi primer nasional pada 2025 kembali meleset.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, bauran EBT dalam energi nasional baru mencapai 14,4% atau sebesar 15,47 gigawatt (GW) dari total kapasitas terpasang sebesar 107 gigawatt (GW) hingga Oktober tahun ini.
Padahal target tahun ini yang sebesar 17%—20% telah direvisi dari sebelumnya sebesar 23% menyesuaikan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Plt. Direktur Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan, sulit mencapai target minimal 17%, mengingat tahun ini yang tinggal tersisa 2 bulan lagi.
"Kayaknya sudah (tidak bertambah), dimaksimalkan saja," ungkap Tri di Gedung Parlemen Senayan, dikutip Senin (17/11/2025).
Baca Juga: Daya Serap EBT Baru 0,2%, Industri Dorong Percepatan Proyek dan Jaringan Super Grid
Lebih lanjut dia bilang, saat ini Kementerian ESDM punya proyek ambisius terkait pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan total kapasitas mencapai 100 gigawatt (GW).
"Yang jelas kita dorong untuk proyek PLTS, kita kan punya proyek ambisius 100 Giga lah. Itu kan ada. Itu kan juga mendorong ke sana (bauran energi)," tambah dia.
Dalam data ESDM, sepanjang tahun ini kontribusi pembangkit EBT terbesar berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berada di atas 7%.
Disusul oleh Pembangkit Biomassa sebesar 3%, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 2,6%, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 1,3%, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) atau angin 0,1%, serta jenis EBT lain.
Terkait sulit tercapainya target ini, menurut pengamat energi dari Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, tidak tercapainya target ini dinilai karena kurang adanya konsistensi dalam transisi energi.
"Utamanya karena terhalang pengadaan EBT yang belum rutin dan konsisten, serta tidak sejajarnya insentif bertransisi," ungkap dia kepada Kontan, Senin (17/11/2025).
Insentif yang dimaksud oleh Putra adalah terkait ketika harga batubara untuk Domestic Market Obligation (DMO) berada di harga US$ 70 per ton. Ini menurutnya, masih 'memaksa' harga batubara lebih murah dari harga global.
Senada, Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan tidak tercapainya bauran ini, faktor terbesarnya adalah karena masih fokusnya Indonesia pada pembangkit batubara.
"Kebijakan pemerintah masih memberikan berbagai insentif terhadap sektor batubara terutama DMO dan pembangunan PLTU di kawasan industri," kata dia.
Baca Juga: Revisi Perpres EBT: Pemerintah Buka Peluang PLTU Batubara Baru?
Berdasarkan data CELIOS, saat ini tercatat 21 unit PLTU kawasan industri yang sedang masuk fase pra-konstruksi dan 130 PLTU yang telah beroperasi.
"Indikator tren produksi batubara yang meningkat ke 739 juta ton pada 2025, disertai dengan fokus pembiayaan bank masih ke tambang batubara, jadi tantangan utama pengembangan EBT," tambah Bhima.
Di sisi lain, Bhima juga mengatakan Presiden Prabowo Subianto perlu membuktikan komitmennya untuk 100% energi terbarukan hingga 10 tahun ke depan.
"Bahkan dalam RUPTL 2025-2034 masih terdapat 6,3 GW pembangkit batubara dan 10,3 GW pembangkit gas," ungkapnya.
Meski mengakui investasi sektor EBT cukup besar, Celios menurutnya menilai Indonesia masih bermasalah pada ruang fiskal yang diprioritaskan untuk proyek energi fosil.
"Dan pemerintah juga masih fokus pada investasi pembangunan kilang minyak, co-firing batubara hingga gasifikasi batubara. Dari mulai insentif, sampai UU EBET belum juga disahkan di DPR, ini menambah panjang hambatan bauran EBT," jelas dia.
Adapun Wicaksono Gitawan, peneliti dari Yayasan Indonesia CERAH, mengatakan ekosistem yang ada sekarang di Indonesia tidak mendukung meningkatnya bauran energi terbarukan.
Lebih spesifik menurutnya, banyak investor asing yang sebenarnya mau masuk, namun saat melihat regulasi Indonesia yang cukup rigid pada energi terbarukan.
"Jadi mereka putar arah. Namun, jika pemerintah dapat memperkuat kebijakan dan membuat rancangan peta jalan peningkatan energi terbarukan yang serius, hal tersebut seharusnya sudah dapat menarik investasi yang lebih tinggi," kata dia.
Sumber energi fosil, utamanya batubara, kata dia masih mendominasi sistem ketenagalistrikan kita. Dengan masih terjadinya oversupply listrik di jaringan Jawa-Bali imbas program 35.000 MW era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Baca Juga: Sektor EBT Jadi Primadona, Kolaborasi Jadi Kunci Swasembada Energi Nasional
"Pemerintah masih berjalan pelan dalam mendorong energi terbarukan," tambahnya.
Wicaksono juga menyinggung klausul take-or-pay yang ada dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) PLTU batubara. Dia menyebut klausul ini membuat PLN enggan menambahkan kapasitas listrik.
"Selain itu, teknologi yang dapat menunjang lebih tingginya energi terbarukan di Indonesia juga belum siap, seperti transmisi dan jaringan yang handal," jelasnya.
"Terakhir, kebijakan yang ada di Indonesia masih belum memihak kepada energi terbarukan. Kebijakan yang belum jelas dan sering berubah-ubah membuat investor enggan masuk ke Indonesia," tutupnya.
Selanjutnya: Graha Layar Prima (BLTZ) Buka Bioskop Baru di Lampung
Menarik Dibaca: Pasar Karbon Kian Serius, Ini Proyek Unggulan Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













