Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Kebutuhan benih hortikultura tahun ini berpotensi meningkat 10% year-on-year menjadi 14.300 ton. Salah satu faktor pemicunya adalah kebijakan pemerintah yang memperketat impor hortikultura.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura Indonesia (Hortindo), Afrizal Gindow, mengharapkan kebijakan impor hortikultura mendorong para petani memanfaatkan bibit lokal untuk menggenjot produksi. "Industri benih optimistis akan banyak petani lokal yang mampu menyerap produknya," kata dia kepada KONTAN.
Sebelum ada kebijakan tersebut, aliran produk hortikultura impor cukup deras di dalam negeri. Sehingga daya saing produk lokal melemah. Saat ini, ada 14 perusahaan benih yang menjadi anggota Hortindo.
Afrizal mengklaim anggota Hortindo mampu memenuhi 6.500 ton hingga 7.000 ton atau sekitar 50% dari total kebutuhan benih nasional. Selama ini, nilai penjualan benih yang paling tinggi adalah kelompok kubis. Pada tahun lalu, penjualan benih kubis senilai Rp 60 miliar, kemudian benih tomat, benih cabai dan benih buah-buahan masing-masing Rp 30 miliar.
Selain memerlukan benih hortikultura yang bermutu tinggi, Afrizal menilai, tantangan lain dalam mengembangkan industri hortikultura adalah persoalan lahan. Dibandingkan negara lain di Asia, luas lahan hortikultura di Indonesia masih minim.
Lahan tanam sayuran di Indonesia berkisar 40 m² per kapita. Sedangkan Thailand mencapai 100 m² per kapita. Kemudian, konsumsi sayuran di Indonesia baru 40 kg per kapita, masih di bawah standard Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) seberat 76 kg per kapita.
Kementerian Pertanian menargetkan pertumbuhan produksi hortikultura meningkat hingga 5% pada 2013. "Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa punya potensi panen produk buah sepanjang tahun di wilayah ini," kata Sri Kuntarsih, Direktur Budidaya dan Pascapanen Buah Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian. Produksi buah domestik rata-rata 18 juta-19 juta ton per tahun.
Pemerintah akan mengidentifikasi sebaran panen dan potensi produk buah di daerah serta mengupayakan agar distribusi bisa merata. Menurut Sri, hal terpenting adalah membangun infrastruktur. Jika produksi maksimal tapi tak bisa didistribusikan ke daerah, maka produk bisa busuk. “Kami harus pertimbangkan antara kemampuan produksi dan kesiapan infrastruktur daerah,” ujar Sri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News