Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mematok subsidi Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 Kg dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 senilai Rp80,3 triliun.
Kalau dibandingkan, angka ini naik 16,89% dari outlook tahun ini yang senilai Rp68,7 triliun.
Meski sudah mengunci angka subsidi melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai angka subsidi ini berpotensi membengkak, didukung adanya tren kenaikan penggunaan LPG 3 kg di kalangan masyarakat.
"Konsumsi LPG 3 kg sendiri diproyeksikan terus naik seiring meningkatnya aktivitas ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan kebijakan subsidi yang diarahkan lebih tepat sasaran. Kenaikan ini diperkirakan sekitar 5% dari tahun sebelumnya," ungkap Yusuf saat dihubungi, Senin (18/08).
Baca Juga: ESDM Targetkan Pembangunan Fasilitas LNG Terapung di Tiongkok Rampung Kuartal I-2027
Dia menjelaskan, kenaikan konsumsi LPG 3 kg mengikuti pola historis, dimana konsumsi dalam negeri memang kerap melampaui kuota, seperti pada 2024 yang over 4,4% dan proyeksi 2025 yang kembali melampaui target.
Sebagai contoh, pada 2025 volume konsumsi diperkirakan tembus 8,36 juta metrik ton (Mton), lebih tinggi dari target awal yang sebesar 8,17 juta Mton. Adapun, untuk tahun depan, pemerintah mematok volume subsidi di kisaran 8,31–8,76 juta Mton.
"Jika realisasi menyentuh batas atas, tambahan beban anggaran bisa mencapai Rp5–10 triliun, bergantung pada harga minyak dunia, nilai tukar rupiah, dan tingkat konsumsi aktual," tambahnya.
Alhasil, ini berakibat pada, subsidi tahun depan yang berpotensi membengkak dari anggaran yang sudah ditetapkan sebesar Rp80,3 triliun.
Faktor lain yang berpotensi memperbesar beban subsidi adalah komitmen impor LPG dari Amerika Serikat (AS) dalam kerangka perjanjian tarif dagang.
"Biaya logistik dari AS relatif lebih mahal dibanding impor dari Timur Tengah atau Asia, sehingga kebutuhan impor—yang mencapai sekitar 75% saja, dari total—bisa menambah biaya," jelasnya.
Menurut Yusuf, kondisi ini bukan hanya menekan margin Pertamina, tetapi juga memperlebar selisih harga keekonomian, yang pada akhirnya memperbesar subsidi negara jika pembenahan data penerima tidak segera dilakukan.
Sebagai tambahan, sebagai bagian dari perjanjian tarif resiprokal, atau timbal balik dengan AS, Indonesia sepakat meningkatkan impor LPG dari negara Paman Sam itu yang awalnya hanya 54% menjadi 80-85%.
Besaran peningkatan impor ini juga telah dikonfirmasi oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.
"Kita naikkan (impor LPG) sekitar 80% sampai 85%,” kata Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (17/4).
Sementara itu, porsi impor minyak mentah (crude oil) dari AS saat ini masih di bawah 4%, dan ditargetkan naik hingga lebih dari 40%.
“BBM juga demikian. Impor BBM dari AS saat ini masih sangat kecil. Nantinya, detail teknisnya akan dibahas lebih lanjut dengan tim teknis dan Pertamina,” pungkasnya.
Baca Juga: DSLNG Akan Pasok 5 Kargo LNG untuk Pasar Domestik Tahun Ini
Selanjutnya: Prudential: Pelemahan IHSG dan Rupiah Jadi Tantangan Pengelolaan Unitlink
Menarik Dibaca: BMKG Rilis Peringatan Dini Cuaca Besok (19/8), Hujan Sangat Lebat di Provinsi Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News