Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Teknologi broadband wireless access (BWA) dengan skema implementasi berbasis regional bukan hal baru di Indonesia. Namun kombinasi keduanya tidak berkembang secara optimal. Sejumlah kebijakan sebelumnya menunjukkan, model ini gagal mendorong penetrasi internet yang merata. Terutama di wilayah yang menjadi target utama pengembangan BWA.
Faktanya, hingga saat ini daerah-daerah yang menjadi target skema BWA masih tertinggal dalam akses dan kualitas layanan internet. Dengan rencana lelang frekuensi 1,4 GHz yang menggunakan pendekatan serupa, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komidigi) sebaiknya membuka kajian lebih luas guna memastikan kebijakan ini tidak mengulang kegagalan yang sama di masa lalu.
Trubus Rahardiansah, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti mengkhawatirkan, kebijakan lelang frekuensi 1,4 GHz berpotensi mengulangi kegagalan sebelumnya. Ia menyoroti kasus Berca pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai contoh bagaimana spektrum yang dimenangkan dalam lelang justru tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk membangun infrastruktur internet.
Menurut dia, hingga kini banyak wilayah yang masih minim akses, meskipun kebijakan BWA berbasis regional telah diterapkan. "Jika pemerintah tidak berhati-hati, skema serupa berisiko hanya menguntungkan segelintir pihak tanpa memberikan dampak nyata bagi pemerataan akses internet di Indonesia," kata Trubus, dalam keterangannya, Senin (17/2).
Menurut Trubus, frekuensi dan jangkauan layanan merupakan barang publik dan layak jual. Komdigi sebaiknya dapat memberikan ruang yang seluas-luasnya agar publik dapat memberikan masukan terhadap regulasi. Komdigi harus transparan dan dapat melibatkan dan menerima masukan dari pemangku kepentingan.
Baca Juga: Komdigi Alokasi Jaringan Internet 6 GHz, Ini Emiten yang Bakal Terlibat
Trubus berharap, konsultasi publik ini setengah hati dan menimbulkan kecurigaan banyak pihak terhadap lelang frekuensi. "Jangan sampai Komdigi mengakomodasi perusahaan yang terafiliasi dengan kekuasaan atau kroni penguasa. Harusnya Komdigi dapat membuat kebijakan yang memuaskan publik. Jangan sampai Komdigi membuat kebijakan yang lemah partisipasi publiknya,” papar Trubus yang juga Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) itu.
Jika ada intervensi, Trubus menduga ada potensi lelang ini akan dimenangkan oleh pihak-pihak yang terafiliasi dengan kekuasaan atau kroni. Atau harga lelang frekuensi ini jadi lebih murah sehingga potensi negara untuk mendapatkan pendapatan dari lelang tersebut menjadi tidak optimal
Trubus juga meminta Komdigi dapat mengeluarkan kajian dan menjelaskan kepada publik mengenai alasan mereka melelang frekuensi 1,4 Ghz untuk layanan BWA. dengan jaringan tetap lokal berbasis packet-switched.
“Agar publik tak buruk sangka kepada Komdigi, kajian mengenai BWA lokal 1.4 Ghz harus dibuka ke publik. Sehingga publik dapat melihat manfaatnya dan dapat memberikan masukan ketika ada kekurangan," lanjut Trubus.
Trubus menyayangkan langkah Komdigi yang melakukan konsultasi publik tersebut di waktu yang sangat pendek. Jika nantinya kajian tersebut dibuka dan publik dapat memberikan masukan, Trubus berharap agar Komdigi juga dapat menjaga persaingan usaha industri telekomunikasi nasional. Sebab jika persaingan usaha tak dijaga dengan baik, maka publik juga yang akan dirugikan.
Selanjutnya: Rupiah Ditutup Menguat ke Rp 16.228 Per Dolar AS Pada Hari Ini (17/2)
Menarik Dibaca: Cara Cek Penyalahgunaan NIK KTP untuk Pinjol Lewat HP! Jangan Sampai Jadi Korban
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News