kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.326.000 1,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Manufaktur tak perlu impor logam lagi


Rabu, 18 Desember 2013 / 13:14 WIB
Manufaktur tak perlu impor logam lagi
ILUSTRASI. Campina Ice Cream (CAMP) bukukan kenaikan penjualan 11,2% pada Kuartal I-2022. KONTAn/Muradi/2014/12/25


Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Azis Husaini

IRONIS. Meskipun Indonesia memiliki kekayaan berupa sumber daya tembaga yang cukup melimpah, namun sayangnya kebutuhan bahan baku logam untuk industri kabel di dalam negeri justru masih mengandalkan impor.

Andi Rizaldi, Kepala Subdirektorat Industri Logam Non Ferro Kementerian Perindustrian mengatakan, industri kabel dalam negeri membutuhkan logam tembaga sekitar 350.000 ton per tahun. Namun, suplai dari PT Smelting Gresik, pengelolaan smelter copper cathode (lempeng tembaga murni) hanya sekitar 150.000 ton per tahun. "Setengah produksi Smelting diserap untuk kebutuhan ekspor, sehingga selama ini, impor logam tembaga sekitar 200.000 ton per tahun," kata dia ke KONTAN, Selasa (17/12).

Produksi konsentrat tembaga yang dihasilkan PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara mencapai 3 juta ton per tahun. Sebanyak 1 juta ton diserap oleh PT Smelting, dan selebihnya diekspor. Selain Smelting, PT Batutua Tembaga Raya juga telah mengoperasikan smelter copper cathode di wilayah timur Indonesia, namun kapasitasnya masih kecil.

Sekarang, ada tiga perusahaan lain tengah berancang-ancang membangun pabrik logam tembaga, yakni
PT Nusantara Smelting Corporation, PT Indovasi Mineral, dan PT Indosmelt. Nah, kalau seluruh konsentrat diolah di dalam negeri, produksi logam tembaga ditaksir bisa mencapai 900.000 ton per tahun.

Bakal tumbuhnya industri kabel ini pun selaras dengan rencana pemerintah yang ingin meningkatkan rasio elektrifikasi. "Kalau problem bahan baku logam tembaga sudah bisa diatasi, pengembangan jaringan transmisi pembangkit listrik juga akan terbantu," kata Andi.

Rozik B Soetjipto, Presiden Direktur Freeport Indonesia mengatakan, meskipun pihaknya belum memproses 100% produksi konsentrat, namun adanya smelter copper cathode memang sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan industri. "Indonesia memang harus maju menuju ke hilir sampai industri manufaktur," kata dia yang kini juga tengah melakukan uji kelayakan untuk pembangunan smelter.

Selain menghasilkan logam tembaga, smelter copper cathode juga memproduksi produk sampingan alias by product. Misalnya, slag untuk kebutuhan industri semen, sulfur untuk industri pupuk dan petrokimia, serta anode slime yang merupakan bahan baku logam mulia. Kebutuhan sulfur di dalam negeri pun selama ini masih mengandalkan pasokan impor.
 
Hidayat Nyakman, Direktur Utama PT Petrokimia Gresik menyatakan, dari total kebutuhan sulfur sebanyak 1,7 juta ton per tahun, sebanyak 180.000 ton didatangkan secara impor. Tahun mendatang, pihaknya akan tingkatkan kapasitas produksi sehingga kebutuhan sulfur akan naik jadi 3,1 juta ton. "Kami memproyeksikan akan mengimpor sulfur sebanyak 500.000 ton per tahun," kata dia.

Untuk pengolahan anode slime, sekarang PT Antam Tbk bersama PT Smelting dan pemerintah tengah gencar melakukan pembicaraan agar proses pengolahannya dapat dilakukan di dalam negeri. Menurut Tri Hartono, Sekretaris Perusahaan Antam, dalam pembicaraan itu masih dibahas, apakah Antam atau Smelting yang membangun pabrik pengolahan anode slime menjadi dore yang merupakan bahan baku logam mulia. (Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×