Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Azis Husaini
IMPIAN tumbuhnya industri berbasis mineral yang terintegrasi dari hulu hingga hilir tampaknya bisa mendekati kenyataan. Program hilirisasi mineral yang dimulai pada tahun depan dapat menjadi titik awal hidupnya industri ini, mulai pembangunan smelter, pabrik penghasil bahan baku, hingga industri manufaktur.
Budi Irmawan, Direktur Industri Logam Dasar Kementerian Perindustrian mengatakan, sekarang ini, perkembangan industri manufaktur masih sangat rentan. Masalahnya, bahan baku seperti elektronik, kabel, pipa, stainless steel, dan baja masih mengandalkan barang impor, sehingga sangat terpengaruh dengan nilai tukar rupiah.
Padahal, bahan dasar dari bahan baku manufaktur seperti bijih besi, bijih tembaga, dan bauksit, dan bijih nikel amat melimpah di negeri ini. Namun, selama ini mineral mentah itu lebih banyak dijual ke luar negeri dan hasil olahannya kembali ke industri manufaktur domestik. "Pembangunan smelter pasti akan memacu tumbuhnya industri antara, sehingga dapat menjamin pasokan bahan baku ke industri manufaktur," kata Budi ke KONTAN, akhir pekan lalu.
Sebagai contoh, kebutuhan bahan baku berupa baja paduan dan besi wantah (pig iron) selama ini hampir seluruhnya didatangkan secara impor. Anehnya, cadangan bijih besi atau pasir besi di Indonesia cukup besar, sebanyak 1,2 miliar ton, bahkan ekspor ore sebesar 18 juta ton per tahun.
Menurut Budi, untuk menjadikan Indonesia negara industri yang kuat, kewajiban mengolah dan memurnikan mineral baik bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) maupun kontrak karya (KK) sangat diperlukan. "Larangan ekspor ore akan menjadi awal tumbuhnya industri dalam negeri," ujarnya.
Ketika sejumlah pengusaha komoditas mineral logam memprotes kebijakan program hilirisasi mineral, pengusaha komoditas timah relatif adem. Soalnya, kewajiban ini bukanlah hal lantaran sudah diterapkan sejak 2002 silam, jauh sebelum UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara lahir.
Agung Nugroho, Sekretaris Perusahaan Timah menceritakan, pada awal tahun 2000-an ekspor bijih timah masih marak sehingga harga jual logam timah terpuruk hingga US$ 4.000 per ton. Padahal sebelumnya, harga logam timah mencapai US$ 8.000 per ton. "Kerusakan lingkungan dan rendahnya harga jual membuat Kementerian Perdagangan menutup ekspor bijih timah dan konsentrat," kata dia.
Saat itu, kebijakan larangan ekspor ore ini juga mendapat protes dari pengusaha timah. Namun belakangan, smelter timah justru berkembang pesat dan kini ada 31 smelter dengan total kapasitas produksi 114.000 ton per tahun.
Kini, rata-rata harga logam timah mencapai US$ 23.000 per ton. Menurut Agung, komoditas timah pun sudah jauh melangkah meninggalkan komoditas mineral logam lainnya, yakni dengan kewajiban menggelar kegiatan ekspor lewat bursa berjangka. "Seharusnya, mineral lain pun demikian, sehingga sebagai produsen utama mineral, Indonesia mampu mengontrol harga jual," ujar Agung.
Saat ini, kebutuhan logam timah untuk produk solder dan packaging di dalam negeri sekitar 2.000 ton hingga 3.000 ton per tahun, atau sekitar 5% dari total produksi nasional. Agung bilang, saat ini, Indonesia menguasai 40% dari total produksi timah dunia, dan sebagian besar pasokan timah diekspor ke China. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News