Reporter: Dimas Andi, Filemon Agung | Editor: Anastasia Lilin Yuliantina
Institute Development of Economic and Finance (Indef) tak heran jika volume penjualan BBM turun. Dalam kondisi sulit begini, konsumsi memang mengempis karena daya beli masyarakat yang lemah. Jadi penurunan harga BBM akan sangat membantu masyarakat menurunkan pengeluaran transportasi serta biaya barang dan jasa.
Oleh karena itu, peninjauan ulang harga BBM mesti dilakukan lebih cepat karena perkembangan harga minyak sangat dinamis. Ketika terjadi penurunan nilai dari salah satu komponen hingga lebih dari 5%, sudah seharusnya terjadi perubahan penghitungan pula. Apalagi sejumlah lembaga juga memproyeksikan harga minyak tidak mungkin kembali ke level US$ 50 hingga US$ 60 per barel sampai akhir tahun nanti.
Telanjur kontrak
Namun tampaknya pemerintah bimbang karena menghadapi dilema. Pemerintah di sisi lain juga berupaya menjaga kondisi keuangan internal Pertamina. Makanya Indef menyarankan agar pemerintah menurunkan harga BBM secara bertahap hingga kisaran 20%. Jadi kalaupun nanti harga minyak dunia kembali terungkit, pemerintah bisa menaikkan harga lagi.
Apabila pemerintah tak juga menurunkan harga BBM, Indef menduga penyebabnya adalah kontrak impor minyak yang dibeli oleh Pertamina dengan asumsi harga normal alias sebelum pandemi korona terjadi.
Karena kalau harga turun, otomatis Pertamina bakal merugi. "Pemerintah belum berani menurunkan harga sekarang karena hitungannya masih rugi, mungkin saja dengan kapasitas kilang sudah full sementara distribusi atau suplai merosot," kata Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Indef.