Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha yang bergerak di industri furnitur sedang mengukur dampak dari dinamika ekonomi yang memengaruhi daya beli. Apalagi, tantangan juga datang dari pasar ekspor pasca kebijakan tarif resiprokal untuk barang yang masuk ke Amerika Serikat (AS).
Maklum, Negeri Paman Sam merupakan pasar penting bagi ekspor produk furnitur Indonesia. Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) mengestimasi pasar AS menyumbang lebih dari 54% terhadap total ekspor di sub sektor industri ini.
Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur menyambut penurunan tarif resiprokal untuk produk asal Indonesia yang masuk ke pasar AS dari semula 32% menjadi 19%.
Baca Juga: Celios: Negosiasi Tarif AS Buntu, Diversifikasi Ekspor Jadi Pilihan Utama
Abdul bilang, implementasi kebijakan tersebut masih dalam tahap transisi, sehingga dampaknya di lapangan belum sepenuhnya dirasakan oleh pelaku industri.
"Dampaknya belum terjadi kenaikan harga secara signifikan di tingkat produsen, karena sebagian besar pelaku masih menyerap beban biaya sembari menunggu kepastian tarif yang konsisten," ungkap Abdul kepada Kontan.co.id, Minggu (7/9).
Hanya saja, Abdul memberikan catatan terkait dengan pernyataan dari Presiden AS Donald Trump, pada 22 Agustus 2025.
Trump mengumumkan bahwa pemerintahannya akan memulai investigasi terkait pengenaan tarif tambahan terhadap produk furnitur impor berdasarkan Section 232.
Investigasi ini direncanakan berlangsung selama 50 hari dan berpotensi mengarah pada penetapan tarif tambahan sebesar 25% terhadap sejumlah produk furnitur.
Baca Juga: Industri Manufaktur Antisipasi Tarif Trump: Pacu Diversifikasi Ekspor & Perkuat Pasar
Abdul meminta supaya pemerintah segera mengambil langkah strategis untuk mengantisipasi dampak kebijakan tersebut terhadap daya saing industri nasional.
Mempertimbangkan berbagai dinamika yang terjadi, HIMKI mengestimasi pada tahun ini akan ada penurunan pesanan dari pasar AS sekitar 20%-30% dibandingkan tahun lalu.
"Ini adalah perkiraan, namun cukup merefleksikan tekanan yang saat ini dirasakan," imbuh Abdul.
Abdul menegaskan, fokus utama pelaku industri adalah memacu diversifikasi guna mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS.
Salah satu peluang datang dari upaya pemerintah dalam mencapai kesepakatan dagang komprehensif dengan Eropa alias Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Merujuk catatan HIMKI, kontribusi pasar Uni Eropa saat ini sekitar 18%–20%.
"HIMKI mendukung penuh percepatan finalisasi perjanjian IEU-CEPA karena akan membuka akses pasar yang lebih luas ke Eropa, sekaligus meningkatkan daya saing produk furnitur dan kerajinan Indonesia di kawasan tersebut," kata Abdul.
Di luar Uni Eropa, HIMKI melihat potensi besar untuk menggenjot diversifikasi ekspor di kawasan Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan, serta pasar regional seperti ASEAN yang relatif dekat dan terus berkembang.
Baca Juga: Prospek Industri Baja Dibayangi Dampak BMAD China dan Tarif Resiprokal AS
Meski begitu, Abdul mengungkapkan bahwa para pelaku industri tetap memasang sikap yang hati-hati di sisa tahun ini.
Secara umum, pelaku industri mebel dan kerajinan menargetkan pertumbuhan yang konservatif, yakni flat hingga tumbuh tipis di bawah 2% secara tahunan.
"Hal ini disebabkan oleh tekanan dari eksternal, terutama dari pasar AS, serta berbagai tantangan biaya produksi dan logistik," ungkap Abdul.