kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Meningkatkan fiscal attractiveness untuk capai produksi 1 Juta BOPD


Senin, 23 November 2020 / 12:20 WIB
Meningkatkan fiscal attractiveness untuk capai produksi 1 Juta BOPD
ILUSTRASI. Sebuah kapal berlabuh di sekitar stasiun terapung suplai minyak dan gas lepas pantai di perairan Balongan, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (11/11/2020)


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri hulu migas dunia saat ini sedang mengalami masa suram. Pandemi Covid-19 telah membuat konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) melemah. Harga minyak pun ikut terperosok. Imbasnya, investasi hulu migas dunia turun hingga US$ 125 miliar.

 Di saat yang sama, terjadi perubahan paradigma dalam bisnis. Beberapa perusahaan migas mulai tertarik mengembangkan industri energi alternatif dan mencanangkan diri sebagai energy company.

Daya tarik industri hulu migas Indonesia pun saat ini masih tertinggal dibanding negara lainnya kendati sejumlah upaya perbaikan sudah dilakukan. Tanpa insentif dan kebijakan yang tepat, produksi minyak nasional akan terus menurun.

Baca Juga: Pertamina kembali dirikan Pertashop di kawasan Jawa Barat

Salah satu upaya penting untuk kembali menggairahkan industri hulu migas demi pencapaian target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030 adalah dengan meningkatkan fiscal attractiveness Indonesia.

Direktur Penelitian Asia Pasifik Wood Mackenzie Andrew Harwood, mengatakan, perlu upaya lebih agar Indonesia dapat lebih kompetitif. Andrew menilai Pemerintah Indonesia memang telah memberikan sejumlah terobosan seperti fleksibilitas skema kontrak.

“Pemberian insentif diharapkan tidak berhenti sampai di situ saja. Pasalnya, negara-negara lain terus melakukan pengembangan perbaikan iklim investasi,” kata Andrew dalam FGD Ekonomi dan Keuangan 2020 bertema Strategic Collaborative Synergy and Effective Fiscal Terms yang diadakan secara daring di Jakarta baru-baru ini.

Menurut Andrew, nilai fiscal attractiveness Indonesia berada jauh di bawah Malaysia, tapi masih di atas Irak dan Brasil. Hanya saja, Irak dan Brasil lebih menarik bagi investor dibanding Indonesia. Akumulasi prospek migas disebut Andrew sebagai salah satu faktor yang turut mempengaruhi ketertarikan investor, selain fiscal term yang berlaku.

“Pada 2010, Brasil menjadi tempat investasi favorit dan ini menarik bagi investor berskala besar. Begitu pula dengan Irak. Meski kebijakan fiskal yang berlaku tidak begitu baik, prospek migas di Irak terbilang bagus,” kata Andrew.

Pola pikir investor saat ini tidak hanya fokus pada upaya peningkatan produksi migas. Tren tersebut perlahan berubah karena perusahaan migas mulai melihat segi pendapatan yang bisa dihasilkan dari produksi migas.

Melihat kondisi tersebut, Andrew menilai, pemerintah perlu memperhatikan sejumlah aspek lain, seperti split migas, daya tarik subsurface, serta penyediaan bagi hasil yang menarik untuk investor.

“Investor berpandangan, kerugian di suatu blok bisa diimbangi dengan produksi dari blok lain. Hal ini yang tidak ada di Indonesia sehingga perusahaan sulit membuat basis di Indonesia,” kata Andrew.




TERBARU

[X]
×