Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan pemerintah menargetkan penghentian impor solar mulai April 2026.
Kebijakan ini seiring dengan rampungnya proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan yang diproyeksikan membuat pasokan solar domestik berlebih.
Bahlil mengatakan, jika RDMP Balikpapan beroperasi penuh pada 2026, produksi solar nasional berpotensi surplus sekitar 3 juta hingga 4 juta kiloliter (KL).
Baca Juga: Cadangan 20 Hari, Bahlil Ungkap Stok BBM dan LPG Aman Jelang Tahun Baru 2026
Dengan kondisi tersebut, pemerintah menargetkan tidak ada lagi impor solar mulai tahun depan.
“Solar pada 2026, kalau RDMP Balikpapan sudah jadi, itu surplus sekitar 3–4 juta KL. Agenda kami 2026 itu tidak ada impor solar lagi,” ujar Bahlil Minggu malam (28/12/2025).
Meski demikian, Bahlil membuka peluang impor dalam jumlah terbatas pada awal 2026, bergantung pada kesiapan operasional kilang.
Ia menyebut, jika RDMP Balikpapan baru beroperasi penuh sekitar Maret 2026, impor masih mungkin dilakukan pada Januari–Februari.
“Tergantung kesiapan kilang. Kalau baru bisa Maret, berarti Januari–Februari mungkin masih ada impor sedikit. Tapi kalau tidak perlu impor, ya tidak usah. Ngapain impor kalau kita sudah siap,” jelasnya.
Baca Juga: TMII Siap Sambut Nataru 2025/2026 dengan Budaya dan Makna
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyatakan kebijakan penghentian impor solar oleh badan usaha (BU) swasta pengelola stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) akan berlaku mulai April 2026.
Mulai saat itu, seluruh kebutuhan solar nasional, termasuk untuk SPBU swasta, wajib dipenuhi dari produksi kilang dalam negeri atau melalui Pertamina.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menjelaskan, kapasitas kilang nasional saat ini mencapai sekitar 1,18 juta barel per hari (bph), sementara kebutuhan BBM nasional berada di kisaran 1,6 juta bph. Selisih kebutuhan tersebut selama ini masih dipenuhi melalui impor.
Kapasitas kilang nasional tersebar di sejumlah fasilitas, antara lain Kilang Cilacap 348.000 bph, RDMP Balikpapan 360.000 bph, Kilang Dumai 170.000 bph, Balongan 125.000 bph, Plaju 134.000 bph, serta Kasim di Sorong sebesar 10.000 bph.
“Keseluruhan kilang bisa di-setting produksinya sesuai kebutuhan. Diharapkan produksi solar dan avtur dapat dipenuhi dari kilang dalam negeri,” kata Yuliot kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Impor Solar Swasta Dihentikan Mulai April 2026, Ruang Gerak SPBU Swasta Menyempit
Dari sisi operator, Pertamina menyatakan kesiapan mendukung kebijakan tersebut. Pjs. Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Milla Suciyani mengatakan, Pertamina siap menyesuaikan produksi solar sesuai kebutuhan nasional.
Namun, rencana penghentian impor ini memicu kekhawatiran pelaku usaha SPBU swasta.
Praktisi industri migas sekaligus Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) Hadi Ismoyo menilai kebijakan ini berpotensi mempersempit ruang gerak swasta di sektor hilir migas.
“Terus terang kami prihatin karena ruang gerak SPBU swasta semakin terbatas. Padahal Indonesia menganut sistem terbuka. Dalam Perpres Nomor 96 Tahun 2024, konsep penyangga energi nasional juga melibatkan swasta,” kata Hadi kepada Kontan.co.id.
Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan kesan pasokan BBM hanya berasal dari satu pintu, yakni Pertamina.
Baca Juga: TMII Targetkan 430.000 Wisatawan Selama Libur Nataru, Naik 9% dari Tahun Lalu
Meski mengakui kapasitas kilang nasional pasca-RDMP Balikpapan mendekati 1,2 juta bph dan relatif cukup secara kuantitas, Hadi mengingatkan masih ada persoalan spesifikasi dan mutu produk.
“Cukup dari sisi kapasitas, tetapi belum tentu dari sisi spesifikasi dan mutu sesuai kebutuhan SPBU swasta,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti menilai, kebijakan ini sangat bergantung pada keberhasilan RDMP Balikpapan dan pencapaian target mandatori biodiesel.
Jika RDMP berjalan sesuai rencana dan target biodiesel FAME B50 sebesar 18 juta KL tercapai, serta produksi solar domestik mencapai 24,5 juta KL, Indonesia berpotensi mengalami surplus pasokan solar.
“Dengan prediksi konsumsi diesel sekitar 41,5 juta KL, Indonesia bisa mengalami kelebihan pasokan. Padahal pada 2025 saja impor solar masih sekitar 6,08 juta KL,” kata Yayan.
Baca Juga: Libur Nataru 2025/2026, Lalu Lintas Empat Tol Regional Nusantara Naik 7,4%
Namun, Yayan mengingatkan, jika target tersebut tidak tercapai, impor solar justru berpotensi meningkat.
Ia memperkirakan impor solar pada 2026 masih bisa berada di kisaran 6,1 juta hingga 6,2 juta KL, sejalan dengan tren impor 2022–2025 yang berada di rentang 4 juta–6 juta KL per tahun.
Menurut Yayan, kunci keberhasilan kebijakan ini terletak pada kesiapan kilang dan kemampuan blending biodiesel.
Ia juga menilai pemerintah tetap perlu memberi ruang bagi swasta di sektor hilir guna menjaga efisiensi dan iklim persaingan.
“Bukan liberalisasi, tetapi memberi ruang persaingan agar Pertamina terdorong lebih efisien. Ini sejalan dengan UU Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 7 dan 8 tentang kegiatan usaha hilir,” tegasnya.
Selanjutnya: Arab Saudi Diam-Diam Perluas Akses ke Toko Alkohol, Antrean Mengular & Harga Selangit
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













