Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto
Praktisi industri migas sekaligus Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) Hadi Ismoyo menilai kebijakan ini berpotensi mempersempit ruang gerak swasta di sektor hilir migas.
“Terus terang kami prihatin karena ruang gerak SPBU swasta semakin terbatas. Padahal Indonesia menganut sistem terbuka. Dalam Perpres Nomor 96 Tahun 2024, konsep penyangga energi nasional juga melibatkan swasta,” kata Hadi kepada Kontan.co.id.
Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan kesan pasokan BBM hanya berasal dari satu pintu, yakni Pertamina.
Baca Juga: TMII Targetkan 430.000 Wisatawan Selama Libur Nataru, Naik 9% dari Tahun Lalu
Meski mengakui kapasitas kilang nasional pasca-RDMP Balikpapan mendekati 1,2 juta bph dan relatif cukup secara kuantitas, Hadi mengingatkan masih ada persoalan spesifikasi dan mutu produk.
“Cukup dari sisi kapasitas, tetapi belum tentu dari sisi spesifikasi dan mutu sesuai kebutuhan SPBU swasta,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti menilai, kebijakan ini sangat bergantung pada keberhasilan RDMP Balikpapan dan pencapaian target mandatori biodiesel.
Jika RDMP berjalan sesuai rencana dan target biodiesel FAME B50 sebesar 18 juta KL tercapai, serta produksi solar domestik mencapai 24,5 juta KL, Indonesia berpotensi mengalami surplus pasokan solar.
“Dengan prediksi konsumsi diesel sekitar 41,5 juta KL, Indonesia bisa mengalami kelebihan pasokan. Padahal pada 2025 saja impor solar masih sekitar 6,08 juta KL,” kata Yayan.
Baca Juga: Libur Nataru 2025/2026, Lalu Lintas Empat Tol Regional Nusantara Naik 7,4%
Namun, Yayan mengingatkan, jika target tersebut tidak tercapai, impor solar justru berpotensi meningkat.
Ia memperkirakan impor solar pada 2026 masih bisa berada di kisaran 6,1 juta hingga 6,2 juta KL, sejalan dengan tren impor 2022–2025 yang berada di rentang 4 juta–6 juta KL per tahun.
Menurut Yayan, kunci keberhasilan kebijakan ini terletak pada kesiapan kilang dan kemampuan blending biodiesel.
Ia juga menilai pemerintah tetap perlu memberi ruang bagi swasta di sektor hilir guna menjaga efisiensi dan iklim persaingan.
“Bukan liberalisasi, tetapi memberi ruang persaingan agar Pertamina terdorong lebih efisien. Ini sejalan dengan UU Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 7 dan 8 tentang kegiatan usaha hilir,” tegasnya.
Selanjutnya: Arab Saudi Diam-Diam Perluas Akses ke Toko Alkohol, Antrean Mengular & Harga Selangit
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













