Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo
"Tentunya hal ini merupakan babak baru kehidupan manusia, mulai meninggalkan sumber energy fosil yang telah berlangsung lebih dari satu abad. Selamat datang Perovskite," tegas Nanang.
Baca Juga: Pengesahan revisi UU Minerba jadi katalis positif di tengah penurunan harga batubara
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan, potensi pengembangan energi surya di Indonesia sangat besar, tercatat Indonesia memiliki potensi energi surya sebesar 207,8 Giga Watt Peak (GWp) dengan realisasi mencapai 0,15 GWp.
Pada tahun 2020 tambahan kapasitas pembangkit EBT ditargetkan sebesar 933 MW dengan PLTS sebesar 78 MW. Oleh karena itu, Pemerintah terus berupaya mendorong pemanfaatan energi surya secara optimal dengan melibatkan seluruh stakeholder.
"Penggunaan energi surya sebagai green energy menggunakan clean technology harus menjadi pilihan dan prioritas bagi kita untuk mendukung sustainability," kata Agung.
Sebagai informasi, perovkite masuk sebagai rare earth elements (REE), yang senyawa kimianya disebut Kalsium Titanium Oksida atau dengan rumus kimia CaTiO3. Pertama kali ditemukan ditemukan di sekitar Pegunungan Urals, Rusia, oleh Gustav Rose pada tahun 1839, yang kemudian dilakukan penelitian lanjut oleh Victor Goldschmidt pada tahun 1926.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News