Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nasib puluhan proyek pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) yang sudah menandatangani kontrak jual beli atau Power Purchase Agreement (PPA) pada tahun 2017 lalu masih menggantung. Dari 70 kontrak yang sudah PPA, hingga kini masih ada 23 proyek listrik EBT yang belum memenuhi syarat pendanaan.
Jumlah itu berkurang satu, dibandingkan data per Maret 2019 lalu yang tercatat ada 24 proyek yang terkendala pendanaan. Karenanya, Direktur Bisnis Regional Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara PLN Djoko Rahardjo Abumanan mengatakan, pihaknya masih terus berupaya untuk mempertemukan pengembang proyek dengan investor atau lembaga pendanaan.
"Sekarang tinggal 23, satu (proyek) sudah masuk ke grup yang akan mendapatkan pendanaan," kata Djoko saat dikonfirmasi Kontan.co.id, Sabtu (13/4).
Menurut data yang disampaikan Djoko, dari 70 proyek pembangkit listrik EBT yang sudah PPA pada 2017 tersebut, ada lima pembangkit berkapasitas total 35 Megawatt (MW) yang sudah beroperasi komersial atau Commercial Operation Date (COD).
Selain itu, terdapat 29 proyek pembangkit yang masih dalam tahap konstruksi, dengan total kapasitas 780,75 MW. Lalu, ada 11 proyek berkapasitas total 76,7 MW yang sudah menyerahkan jaminan pelaksanaan namun belum menyelesaikan pendanaan atau Financial Close (FC).
Setelah itu, terdapat 23 proyek dengan total kapasitas 316,12 MW yang belum menyerahkan jaminan pelaksanaan dan juga belum FC. Sisanya, ada satu proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) berkapasitas 1,2 MW yang sudah diterminasi, dan ada satu PLTMH berkapasitas 4,4 MW yang terindikasi akan diterminasi karena terganjal kesungguhan untuk mencapai FC dan melengkapi jaminan pelaksanaan.
Sebelumnya, Djoko mengungkapkan bahwa PLN memberi tenggat hingga Juni kepada proyek yang belum menyerahkan jaminan pelaksanaan dan juga belum FC. Jika melewati batas waktu itu, maka proyek tersebut akan diterminasi.
Namun demikian, Djoko mengatakan bahwa pihaknya masih terus berupaya untuk mempertemukan pengembang dengan investor atau lembaga penyandang dana. Kerjasama pun telah dilakukan PLN baik melalui kema Pembiayaan Investasi Non-Anggaran pemerintah (PINA) dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) maupun dengan lembaga financial advisor seperti Tropical Landscapes Finance Facility (TLFF).
Saat ini, sudah ada 6 proyek PLTM berkapasitas total 34 MW yang tengah menjajaki pendanaan melalui PINA-Bappenas. Sementara itu, sambung Djoko, pada pekan depan PLN akan kembali mempertemukan pengembang dengan lembaga pendanaan.
"Jadi kita pertemukan dengan investor, dan financial advisor seperti TLFF untuk melakukan studi ini. Mungkin Senin kita akan mempertemukan lagi," ujar Djoko yang juga menjabat sebagai Pembina EBT PLN.
Sehingga, Djoko pun belum bisa memastikan apakah tenggat waktu terminasi tetap pada bulan Juni, atau bisa diundur lagi. Sebab, PLN akan terlebih dulu menilai kelayakan progres dan komitmen pendanaan dari masing-masing proyek tersebut.
"Kan kita bantu, jadi kita lihat dulu, ada yang tertarik atau tidak. Kalau nggak, ya kita terminasi. Kalau ada, bisa kita perpanjang (tidak diterminasi pada bulan Juni)," jelas Djoko.
Di sisi lain, menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Pengembang Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni, solusi yang ditawarkan PLN memang bisa memberikan dampak yang positif. Namun, ia menilai bahwa dampak tersebut hanya bersifat jangka pendek dan terbatas pada proyek EBT yang sudah PPA pada tahun 2017 saja.
"Ini solusi sementara. Tentunya sebagian pengembang PPA mengambil langkah cut loss daripada uangnya nggak kembali sama sekali," kata Riza.
Riza berpendapat, solusi ini tidak akan menimbulkan minat investor baru dalam mengembangkan pembangkit EBT, khususnya PLTMH berskala kecil. Menurutnya, dibutuhkan kerangka regulasi yang tepat untuk mendorong pembangkit listrik EBT, sekaligus membantu pengusaha nasional dengan skala usaha yang terbatas.
Saat ini, lanjut Riza, Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017, khususnya terkait skema build, own, operate and transfer (BOOT) membuat investasi di bidang ini menjadi tidak menarik.
"Seharusnya buat aturan yang baik, dengan itu menjadikan bank berminat untuk membiayai. Kalau tidak, sulit menimbulkan minat baru investasi di sektor ini," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News