Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan pemerintah untuk mengimpor komoditas minyak dan gas (migas) dalam bentuk minyak mentah atau Crude Oil, Liquefied Petroleum Gas (LPG), dan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Amerika Serikat (AS) dinilai semakin menjauhkan Indonesia dari target swasembada energi.
Energi sejauh ini masuk dalam komoditas utama impor Indonesia dari AS sebagai balasan atas turunnya tarif resiprokal atau timbal balik dari yang sebelumnya 32% menjadi 19%.
Nilai impor komoditas energi cukup besar hampir US$ 15 miliar atau setara dengan Rp 243 triliun. Angka ini telah dikonfirmasi oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia.
Baca Juga: Tarif AS Turun, Pertamina Atur Rencana Impor Migas
"Dalam negosiasi itu salah satu materinya adalah proposal Indonesia kepada Amerika yang akan membeli sekitar US$ 10 miliar sampai US$ 15 miliar, itu ada LPG, crude (minyak mentah) dan BBM," ucap Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (18/07).
Padahal sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto belum lama ini telah menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia mampu mencapai swasembada energi dalam beberapa tahun ke depan.
Keyakinan tersebut disampaikan Prabowo pada groundbreaking ekosistem industri baterai kendaraan listrik terintegrasi konsorsium ANTAM-IBC-CBL di Artha Industrial Hills (AIH), Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat, pada Minggu, (29/06) lalu.
“Saya diberitahu oleh para pakar bahwa bangsa kita ini sungguh-sungguh bisa swasembada energi dan hitungan saya tidak lama, tidak lama. Lima tahun paling melambat enam tahun, tujuh (tahun) kita bisa swasembada energi,” ucapnya.
Baca Juga: Rencana Impor Migas dari AS, Ini Strategi Pertamina International Shipping (PIS)
Namun, dengan adanya peningkatan impor sektor energi, menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bachtiar target ini tidak akan tercapai.
"Tidak mungkin lima tahun ini tercapai (swasembada energi), sangat berat. Lifting minyak kita hanya 600.000 Barel Oil per Day (BOPD) sedangkan kebutuhan BBM sudah lebih dari 1,5 juta BOPD, begitu juga kebutuhan LPG. Untuk swasembada maupun transisi energi total tidak bisa dalam 5 tahun ini," kata dia saat dihubungi, Minggu (20/07).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi lifting minyak pada kuartal I-2025 mencapai 580.000 barel per hari (BPH) atau BOPD. Sedangkan konsumsi minyak nasional saat ini mencapai 1,5 juta BOPD.
Sedangkan LPG, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2024 Indonesia telah mengimpor sebanyak 6,89 miliar kg atau 6,89 juta ton LPG dari total kebutuhan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN 2024 adalah 8,03 juta ton.
Hal senada juga diungkap oleh praktisi senior industri migas sekaligus Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Hadi Ismoyo.
Baca Juga: Bahlil Tegaskan: Impor Migas dari AS Sudah Pasti, Meski Butuh Waktu 40 Hari
Meski merupakan bagian dari tawaran Indonesia ke AS, ia mengatakan langkah ini justru melahirkan paradoks dari tujuan awal untuk bebas dari impor, terutama sektor energi.
"Kebijakan pemerintah bidang energi ini kelihatan galau dan arahnya kurang jelas, sehingga melahirkan paradoks. Ingin swasembada energi, namun tetap melakukan impor energi yang sedemikian besar," kata dia saat dihubungi, Minggu (20/07).
Meski begitu, Ismoyo bilang, jika alasannya adalah terkait geopolitik, pemerintah harusnya bisa menekankan impor migas tersebut adalah kebijakan jangka pendek dengan target utama negosiasi bisa sampai pada nol persen.
Sedangkan, untuk tetap memenuhi target swasembada energi, pemerintah perlu peta jalan konkret untuk jangka menengah dan jangka panjang.
"Jangka menengah adalah membangun jaringan infrastruktur gas yang masif, baik konvensional pipeline dan virtual pipeline untuk mengurangi ketergantungan impor LPG," ungkapnya.
Baca Juga: Pertamina Mengkaji Impor Migas dari AS
"Dan strategi jangka panjang, melakukan program eksplorasi baik dengan memberi penugasan kepada Pertamina atau B2B dengan K3S lain dalam program roadmap giant discovery," tambahnya.
Jika dibiarkan, menurutnya peluang Indonesia semakin bergantung pada impor akan semakin tinggi, subsidi energi berpotensi semakin membengkak dan ujungnya ditanggung oleh rakyat.
"Biaya logistik dari USA juga meningkat. Kalau LPG non-subsidi tentu akan di bebankan ke konsumen, kalau LPG subsidi tentu akan ditanggung oleh APBN," ungkapnya.
Selanjutnya: Hery Gunardi Ungkap Strategi BRI dalam Mendukung Pengembangan Kopdes Merah Putih
Menarik Dibaca: Samsung Z Fold 6 dengan Layar Dua Mode, Bisa jadi Smartphone Sekaligus Tablet
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News