Reporter: Ario Fajar, Havid Vebri |
JAKARTA. Volume ekspor kayu lapis (plywood) Indonesia terus merosot. Penyebabnya, kondisi pasar di Jepang, Amerika Serikat (AS), dan Timur Tengah tengah lesu akibat resesi ekonomi.
Data yang dirilis Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) mencatat, volume ekspor kayu lapis sepanjang Januari hingga Oktober tahun ini hanya 1,9 juta meter kubik. Volume ini turun 11% dibanding ekspor periode yang sama tahun lalu yang sebanyak 2,1 juta meter kubik (m³).
Meski volume turun, nilai ekspor tetap naik tipis. Nilai ekspor kayu lapis hingga Oktober tercatat US$ 866 juta. Angka itu naik 2,2% dibanding periode yang sama 2009 yang sebesar US$ 847 juta.
"Nilai ekspor naik karena harga kayu lapis sekarang tinggi. Sekarang di kisaran US$ 600 sampai US$ 700 per meter kubik, sementara tahun lalu hanya US$ 398 per meter kubik," ujar Nyoto Suhardjojo, Ketua Bidang Pemasaran Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo), Senin (1/10).
Mestinya, kata Nyoto, di tengah lonjakan harga itu, nilai ekspor kayu lapis bisa jauh lebih tinggi. Tapi, itu tak terjadi karena kondisi ekonomi di sebagian negara yang selama ini jadi pasar utama ekspor kayu lapis belum pulih.
Ditambah lagi, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus menguat. Saat ini, nilai tukar rupiah sekitar Rp 8.900 per dollar AS. Posisi ini menguat cukup banyak jika dibandingkan kurs rupiah tahun lalu yang rata-rata hanya Rp 9.500 per dollar AS. "Penguatan mata uang rupiah merugikan kami, margin kami terus berkurang," kata Nyoto. Maklum, dalam rupiah, pendapatan eksportir jadi susut. Penguatan rupiah juga membuat produk Indonesia jadi lebih mahal di pasar global.
Akibat ekspor terus tergerus, kini hanya tersisa 20 pabrik kayu lapis yang bertahan. Namun, produksi mereka tersendat-sendat. "Padahal dulu ada 128 pabrik kayu lapis di Indonesia. Penutupan pabrik itu sudah terjadi sejak lima tahun terakhir," ujar Nyoto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News