Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT Timah Tbk (TINS) sedang harap-harap cemas. Pasalnya, izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan yang berada di wilayajh laut tidak bisa ditambang lagi.
Ini karena adanya akan adanya rencana penerbitan aturan Pemda Bangka Belitung tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Babel.
Baca Juga: PT Timah sebar bisnis sampai nikel
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengungkapkan, ada 50 IUP timah tambang laut yang beroperasi di wilayah Babel. Dari 50 IUP tersebut, TINS memiliki 5 IUP yang izinnya diterbitkan oleh Kementerian ESDM, sementara 45 lainnya merupakan IUP swasta kewenangan pemerintah daerah.
Yunus menyampaikan, jika 5 IUP milik TINS itu tak diakui dalam zonasi sehingga tidak bisa ditambang, maka sumber daya timah yang akan hilang diperkirakan mencapai 472.000 Sn. Dengan asumsi harga logam sebesar Rp 19.500 per metrik ton dan kurs dollar sekitar Rp 15.000, Yunus memperkirakan sumber daya tersebut senilai dengan Rp 151,6 triliun.
Jika dirinci ke dalam potensi penerimaan negara secara tahunan, Yunus memperkirakan potensi kontribusi iuran tetap yang hilang sebesar Rp 9,9 miliar per tahun. Sementara potensi kehilangan royalty mencapai Rp 4,5 triliun per tahun.
"IUP itu aset BUMN, aset negara juga. Ketika itu dihilangkan maka ada potensi kehilangan cadangan yang nggak bisa diambil dan lost pendapatan negara," kata Yunus saat ditemui di Kantornya, Jum'at (20/9).
Baca Juga: Akibat penambang ilegal, PT Timah rugi Rp 27 T
Oleh sebab itu, Yunus mengatakan bahwa pihaknya meminta supaya IUP timah tambang laut yang sudah ada (eksisting) tetap diakui. Sebab, IUP tersebut merupakan produk hukum yang legal sesuai Undang-Undang Minerba dan regulasi turunannya.
"Karena itu sikap ESDM meminta agar IUP yang sudah terbit tetap diberlakukan. Kecuali untuk yang baru muncul dan melakukan perizinan, yasudah jangan lagi," sambungnya.
Yunus mengatakan, keinginan Kementerian ESDM tersebut tidak hanya berlaku untuk Provinsi Babel saja, namun juga untuk provinsi lainnya. Hanya saja, ia menekankan bahwa Babel menjadi fokus perhatian lantaran sumber daya timah nasional paling banyak tersimpan di wilayah tersebut.
Yunus menyebut, saat ini sudah ada 22 provinsi yang sudah menetapkan Perda Zonasi, yang berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Lebih lanjut, Yunus pun menekankan, persoalan ini juga menyangkut kepastian hukum dan investasi di sektor pertambangan minerba. Apalagi, perusahaan yang bersangkutan juga sudah mengeluarkan biaya untuk kegiatan penelitian sumber daya, eksplorasi dan kegiatan pertambangan lainnya.
Baca Juga: Seluruh transaksi komoditas di BKDI turun
"IUP eksisting harus diakui sebagai kepastian investasi. Mereka sudah melakukan eksplorasi, mengeluarkan budget penghitungan cadangan, penelitian dan lainnya," terang Yunus.
Senada dengan itu, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli juga menyatakan bahwa Rancangan Peraturan Daerah mengenai zonasi tersebut berpotensi melahirkan ketidak pastian di sektor pertambangan. Sebab, IUP eksisting bisa kehilangan hak-nya untuk menambang dalam rangka pengembalian investasi yang sudah dikeluarkan.
Menurut Rizal, biaya eksplorasi yang dikeluarkan untuk mendapatkan sumberdaya timah di tambang laut yang berpotensi hilang tersebut mencapai Rp 1,4 triliun. "Hal ini akan berdampak pada country risk menjadi tinggi, semakin kurang menarik bagi investasi pertambangan di Indonesia," kata Rizal saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (20/9).
Rizal juga mengingatkan, nilai strategis lain yang harus diperhatikan dari sumber daya timah ini ialah terkait dengan potensi pengembangan mineral ikutan timah, yakni tanah jarang atau rare earth. "Padahal saat ini rare earth menjadi strategis untuk pengembangan industri ke depan," imbuh Rizal.
Menurut Rizal, prinsip konservasi sumberdaya mineral adalah memanfaatkan secara maksimal sumberdaya yang ada terlebih dulu, baru kemudian wilayah tersebut dikonversi ke peruntukan lainnya. "Jadi sebaiknya wilayah yang masuk dalam skema itu (ketegori RZWP3K) adalah wilayah yang secara geologi tidak memiliki cadangan timah atau wilayah yang memiliki ekosistem coral hidup," ungkapnya.
Baca Juga: Produksi TINS Bakal Tergerus Penerapan Zonasi Tambang Timah
Seperti diketahui, Pemprov Bangka Belitung sendiri dikabarkan sedang merampungkan RZWP3K. Dalam zonasi tersebut, rencananya ada 4.140 ha kawasan pertambangan bijih timah di laut yang akan dihapuskan.
Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, Kelompok Kerja RZWP3K yang juga Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Bangka Belitung Dasminto masih, tetap enggan untuk menjawab panggilan Kontan.co.id.
Adapun, terkait dengan rencana hilangnya 4.140 ha kawasan pertambangan bijih timah tersebut, Yunus Saefulhak mengaku bahwa pihaknya belum mendapatkan informasi terperinci. Termasuk soal potensi sumber daya dan pendapatan daya yang hilang dari luasan tambang timah laut tersebut.
Sementara menurut Rizal Kasli, luasan 4.140 ha itu tidak akan berpengaruh signifikan jika wilayah yang dilepas oleh pemegang IUP itu merupakan wilayah yang tidak mengandung cadangan timah, atau secara ekonomi cadangannya tidak menguntungkan. "Untuk itu perlu dilakukan kajian geologi-eksplorasi terlebih dulu secara detailuntuk menentukan batas wilayah untuk skema tersebut," ujar Rizal.
Baca Juga: Timah (TINS) ingin amankan IUP Tambang Laut dalam zonasi di Babel
Adapun, menurut Sekretaris Perusahaan TINS Abdullah Umar mengatakan, produksi bijih timah dari tambang laut berkontribusi signifikan terhadap TINS. Sebab, produksi bijih timah dari tambang laut mencapai 40% dari total produksi TINS secara keseluruhan.
Abdullah menuturkan, total IUP laut yang dimiliki TINS sekitar 184.000 hektare (ha). Dari jumlah tersebut, sebanyak 139.662 ha atau sekitar 75,5% berada di laut Bangka Belitung.
Lebih lanjut, Abdullah mengungkapkan, 70% dari IUP tambang laut TINS di Bangka Belitung sudah masuk ke kawasan penambangan. Sementara 30% sisanya masih di luar zona penambangan.
Untuk itu, Abdullah menekankan bahwa pihaknya akan terus melakukan upaya supaya 30% IUP tambang laut TINS di Bangka Belitung tetap bisa ditambang. "Kita tetap berupaya melakukan pendekatan kepada pihak-pihak terkait agar IUP yang 30% itu bisa masuk ke pertambangan," kata Abdullah ke Kontan.co.id, Rabu (18/9).
Berdasarkan catatan KONTAN, pada tahun 2018, perolehan bijih timah yang bersumber dari laut sebesar 19.159 ton sn. Jumlah tersebut naik 7% dibandingkan tahun 2017 yang hanya mencapai 17.906 ton sn.
Baca Juga: Simak rekomendasi saham ERAA, TINS, WTON, dan PWON hari ini
Sementara pada taun ini, TINS menargetkan pertumbuhan perolehan bijih timah dari laut sebesar 22.000 ton sn atau naik 15% dibanding tahun 2018.
saat ini aktivitas operasi dan produksi penambangan laut TINS dilakukan secara organik dengan mengoperasikan empat kapal keruk dan 17 kapal isap produksi (KIP). Selain itu, aktivitas penambangan laut juga dilakukan secara anorganik dengan mitra tambang yang berjumlah 76 KIP yang dialokasikan 23 KIP di Provinsi Bangka Belitung dan 53 unit KIP di Kepulauan Riau dan Riau.
Aktivitas operasi produksi penambangan di Provinsi Bangka Belitung dilakukan di darat dengan luas wilayah IUP sebesar 288.728 ha dan di laut dengan luas IUP 139.663 ha. Sedangkan di Kepulauan Riau dan Riau, seluruhnya berada di laut (off-shore) dengan total luas IUP seluas 45.009 ha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News