Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia perlu segera menetapkan peta jalan pengakhiran dini PLTU batubara sebagai acuan untuk menemukan dan mengembangkan solusi, mengantisipasi risiko, dan mendorong kolaborasi antar lembaga pemerintahan dan institusi finansial.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai PLTU batubara merupakan kontributor emisi signifikan sehingga strategi pengakhiran dini PLTU batubara akan mempercepat pengurangan emisi.
Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik telah membatasi pembangunan PLTU baru, kecuali di sektor industri dan PLTU yang sudah dalam perencanaan.
Baca Juga: Anugerah Samudera Madanindo Dukung Penyediaan Pasokan Energi Berkelanjutan
Dengan pertimbangan kapasitas, umur aset, serta kebutuhan energi yang berbeda antara PLTU batubara dalam jaringan PLN (on grid) yang lebih tua dan PLTU di luar jaringan yang lebih muda, maka upaya mitigasi emisi sampai 2050 perlu dikontribusikan dari PLTU batubara on-grid mencapai 68% dan sisanya dari of -grid.
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR mengatakan, pemerintah Indonesia masih berfokus pada pemanfaatan amonia dan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage, CCS) mitigasi emisi PLTU batubara.
Namun, ia melihat strategi tersebut perlu mempertimbangkan potensi kenaikan biaya listrik, keterbatasan kematangan teknologi CCS dalam penyerapan karbon, serta persaingannya dengan kebutuhan lain (ammonia untuk kebutuhan industri).
“Sebagian besar PLTU on-grid saat ini berumur sekitar 20 tahun, sedangkan PLTU captive rata-rata berumur sekitar 10 tahun. Oleh karena itu, strategi intervensi lebih mudah diterapkan pada PLTU on-grid,” kata dia dalam keterannya, Rabu (6/11).
Baca Juga: Transisi Energi Harus Berjalan Secara Adil dan Terarah
Ia menmabhakan, hasil analisis IERS, strategi pengakhiran dini PLTU batubara untuk on-grid dan captive harus berbeda. Untuk PLTU on-grid, perlu dipertimbangkan kapasitas dan stabilitas listrik (aspek teknis) serta ketersediaan investasi. Sebagian PLTU on-grid bisa dihentikan operasinya, sementara sisanya dioperasikan secara fleksibel.
Untuk PLTU captive/of -grid yang bisa digantikan energi terbarukan mencapai 26% dan sisanya dapat menggunakan bahan bakar bersih sebagai solusi sementara hingga solusi jangka panjang, seperti integrasi dengan jaringan PLN, tersedia.
IESR mendorong pemerintah untuk segera menetapkan peta jalan pengakhiran dini PLTU batubara dengan mempertimbangkan pertama, memastikan komitmen politik dan kepemimpinan kuat yang dipimpin langsung oleh presiden karena pengakhiran PLTU belum pernah diterapkan di Indonesia.
Kedua, solusi yang beragam untuk memitigasi dan mendistribusi potensi dampak negatif pada berbagai aktor seperti PLN, pemilik PLTU dan pekerja. Ketiga, memperjelas kebutuhan pendanaan dan target PLTU yang memerlukan bantuan dana dari pemerintah Indonesia dan internasional terutama untuk eksekusinya. Keempat, memperkuat kolaborasi antara pemerintah, institusi keuangan, dan swasta untuk menemukan solusi inovatif.
Putra Maswan, Analis Keuangan dan Ekonomi IESR menyebut bahwa pendanaan publik sangat penting untuk menarik pendanaan swasta yang masih menghadapi risiko tinggi karena transisi energi merupakan pasar baru.
Selain itu, ia menambahkan bahwa IESR telah melakukan evaluasi terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 103/2023 sebagai dasar alokasi APBN untuk mendukung pengakhiran operasi PLTU lebih awal.
“Hasilnya, PMK ini dinilai ‘kuat’ dalam aspek hukum, namun berada di kategori ‘sedang’ untuk tata kelola, sumber pendanaan, serta kerangka pemantauan dan evaluasi,” jelas Putra.
Untuk memperjelas tata kelola PMK No. 103/2023, IESR merekomendasikan empat hal. Pertama, peraturan ini harus memberikan panduan jelas terkait implikasi anggaran.
Kedua, pemerintah perlu meningkatkan transparansi publik untuk Platform Transisi Energi. Ketiga, pemerintah harus memperkuat kerangka regulasi pasar. Keempat, mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan.
Selanjutnya: 14 Fintech Lending Belum Penuhi Modal Minimum Rp 7,5 Miliar, Ini Sebabnya Menurut OJK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News