kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.923.000   4.000   0,21%
  • USD/IDR 16.275   35,00   0,22%
  • IDX 7.199   10,61   0,15%
  • KOMPAS100 1.051   2,03   0,19%
  • LQ45 818   1,46   0,18%
  • ISSI 226   0,79   0,35%
  • IDX30 428   0,31   0,07%
  • IDXHIDIV20 508   3,38   0,67%
  • IDX80 118   0,22   0,19%
  • IDXV30 121   1,20   1,00%
  • IDXQ30 140   0,04   0,03%

Pemerintah Targetkan Bangun PLTN 500 MW di Sumatra &Kalimantan Mulai 2027, Realistis?


Selasa, 27 Mei 2025 / 16:09 WIB
Pemerintah Targetkan Bangun PLTN 500 MW di Sumatra &Kalimantan Mulai 2027, Realistis?
ILUSTRASI. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memasukkan proyek pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025–2035.

Proyek perdana PLTN ditargetkan memiliki kapasitas 500 megawatt (MW), yang masing-masing akan dibangun di Sumatra dan Kalimantan mulai 2027.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, lokasi pembangunan PLTN telah ditentukan melalui kajian teknis, dengan kapasitas masing-masing wilayah mencapai 250 MW.

“Ini ya Sumatra 250 [GW], ada dua kalau engga salah ya. Satu lagi di Kalimantan,” ujar Bahlil di Jakarta, Senin (26/5).

Proyek ini menjadi bagian dari target tambahan kapasitas pembangkit nasional sebesar 69,5 gigawatt (GW) dalam satu dekade mendatang, dengan porsi energi baru terbarukan (EBT) mencapai 76%. PLTN akan menjadi salah satu kontributor dalam bauran EBT tersebut.

Baca Juga: Sederet Masalah Hambat Ambisi RI Punya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Perdana

Bahlil menambahkan, pembangunan ditargetkan rampung dalam waktu 4–5 tahun dan dapat beroperasi mulai 2032.

Terpisah, Direktur Utama Energy Shift Institute Putra Adhiguna menilai, perencanaan dan pembangunan PLTN harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian.

"Target waktu wajar-wajar saja tetapi jangan sampai terburu-buru karena PLTN memilki 'zero tolerance for error'," kata Putra kepada Kontan, Selasa (27/5).

Menurut Putra, jangka waktu pembangunan PLTN di dunia biasanya berkisar 6-8 tahun dengan tahapan perizinan yang juga memakan waktu selama bertahun-tahun.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, target pembangunan RUPTL pada 2027 kurang realistis. Pasalnya, pembangkit PLTN dari sisi investasi tentu lebih mahal, bangun 500 MW saja butuh Rp 17 triliun.

"Beberapa bank dan lembaga keuangan memiliki kebijakan tidak mendanai PLTN. Artinya, ada tantangan dari sisi pembiayaan dan jika mengandalkan APBN tentu situasi saat ini kurang memungkinkan," ungkapnya kepada Kontan, Selasa (27/5).

Baca Juga: PLTN Masuk RUPTL 2025-2034, RI Siapkan Proyek Nuklir Pertama Berkapasitas 500 MW

Selain itu, kata Bhima, risiko bagi masyarakat juga harus jadi pertimbangan.  Terlebih, jika lokasinya dekat dengan pemukiman.

"Bagaimana efek radiasinya? Semua perlu jadi pertimbangan. Idealnya Indonesia bisa lebih fokus kembangkan energi surya, angin, dan air yang jelas aman bagi lingkungan dan masyarakat dibanding PLTN," pungkasnya.

Berdasarkan catatan Kontan, masalah biaya dalam pembangunan PLTN di dalam negeri bukanlah isu baru, dalam perkembangannya Indonesia dinilai masih harus bekerja sama dengan negara-negara yang telah memiliki track record memiliki PLTN.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, ada beberapa negara yang telah mengajukan proposal kerjasama pembangunan PLTN kepada Indonesia. Negara-negara itu adalah Amerika, Rusia, Denmark, Kanada, United Kingdom (UK) dan China.

Sayangnya, Eniya bilang proposal-proposal kerjasama yang masuk belum ditindaklanjuti oleh pihaknya. Hal ini lantaran, ekosistem terkait pengembangan PLTN di dalam negeri belum ajeg.

Baca Juga: Proyek PLTN Ditargetkan Mulai Dibangun 2030

Di awal, Eniya bilang Indonesia harus lebih dulu memiliki Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO) atau Organisasi Pelaksana Program Energi Nuklir.

"Kalau itu semua belum, kita tidak lanjuti, Nepio saja kita (belum), harus memastikan ekosistemnya, akan ada regulatornya, unsur penunjangnya, dan pelakunya sendiri, owner dari ketenagalistrikannya sendiri," ungkap Eniya saat ditemui di Komplek DPR RI, Jakarta, Rabu (30/4).

Di sisi lain, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan kerjasama dengan negara lain contohnya dengan membangun joint venture (JV) juga akan membantu Indonesia dalam mengontrol resiko pada PLTN.

"Dengan kerjasama dengan investor tadi, selain bisa sharing profit, kita juga bisa sharing dalam segi resiko," ungkap dia saat dihubungi, Kamis (08/05).

Baca Juga: Bidik Investasi Rp 565 Triliun, Pemerintah Bangun Transmisi Listrik 47.758 Kms

Selanjutnya: Sentimen Risk On Menyala, Valuta Emerging Market Terangkat

Menarik Dibaca: Promo The Body Shop Spesial Gajian sampai 31 Mei 2025, Lipstik dan Toner Diskon 30%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×