Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha di sektor pertambangan dan smelter mengeluhkan salah satu tantangan terbesar dalam membangun smelter ialah pendanaan dan pasokan listrik yang memadai, murah, dan stabil.
Wakil Ketua Indonesian Mining Associaton (IMA), Ezra Sibarani menyoroti tantangan pembangunan smelter berada pada aspek pendanaan.
Membangun smelter membutuhkan dana yang sangat besar atau sekitar US$ 1 miliar hingga US$ 2 miliar sehingga proses pencarian pendanaan untuk jumlah tersebut baik dalam bentuk pinjaman, investasi, dan pihak lain tidak mudah.
“Perusahaan sekelas Freeport dengan pendanaan cukup kuat itu juga kegiatan kewajiban hilirisasinya terhambat karena memang dana yang dibutuhkan sangat besar,” jelasnya dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Kesiapan Industri Pendukung dalam Menyerap Produk Hilirisasi” di Menara Kompas Gramedia, Selasa (3/10).
Baca Juga: Transformasi Kinerja Keuangan GrupMIND ID, Alami Peningkatan Terbesar 5Tahun Terakhir
Sedangkan perusahaan tambang sendiri membutuhkan belanja modal (capital expenditure) dan biaya pengeluaran rutin (operational expenditure). Maka itu arus kas terus berjalan setiap harinya. Jadi kalau dana sehari-hari dialokasikan untuk membangun smelter, secara otomatis operasional akan terpengaruh. Jadi menurutnya, faktor pendanaan sangat penting.
Tantangan lain ialah pasokan listrik. Smelter membutuhkan pasokan listrik yang besar sehingga perusahaan smelter membutuhkan kesepakatan bisnis yang tepat dengan PLN agar mendapatkan pasokan listrik dengan harga murah dan stabil.
Menurut Ezra, tantangan lainnya yang juga tidak kalah penting ialah kesiapan infrastruktur. Smelter sebisa mungkin dibangun di lokasi yang harga tanahnya tidak mahal namun terdapat infrastruktur yang memadai untuk menunjang pengangkutan komoditas seperti pelabuhan dan kereta agar tidak perlu lagi ada tambahan biaya signifikan untuk pembangunan infrastruktur.
Ezra menyatakan, supaya perusahaan tambang lebih semangat melaksanakan kewajiban hilirisasi, pihaknya membutuhkan insentif fiskal dan jaminan pembeli pasti.
“Kalau sudah ada off taker-nya jadi gayung bersambut, efeknya jadi lipat kali ganda untuk pertumbuhan ekonomi,” imbuhnya.
Senada, Komite Tetap Minerba Kadin Indonesia, Arya Rizqi Darsono menyebut faktor finansial menjadi salah satu aral melintang yang saat ini masih berat menggelayuti pembangunan smelter di dalam negeri.
“Kenapa banyak pengusaha dari China mau membangun smelter di Indonesia dibandingkan perusahaan Indonesia yang bangun di dalam negeri? Jawabannya, dari suku bunga sudah bersaing tinggi. Informasi yang kami dapatkan investor China di luar negeri dapat bunga (pendanaan) sangat rendah yakni 2,02% melawan suku bunga kredit Indonesia sangat tinggi,” ungkapnya.
Baca Juga: Kendalikan Dampak Debu Batubara, RMK Energy (RMKE) Tingkatkan Teknologi Operasional
Maka itu, Kadin mengharapkan peranan dari perbankan nasional yang bisa memberikan dukungan investasi bagi perusahaan yang berkomitmen membangun smelter di dalam negeri. Arya bilang, investasi tanpa dukungan uang akan sulit terwujud.
“Kalau perbankan nasional tidak bisa mendukung kami, tentu akan susah,” kata Arya.
Kadin juga menyoroti ketersediaan energi untuk smleter sangat besar. Apalagi di tengah arus transisi energi yang mengamanatkan penggunaan energi hijau.
“Kalau di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) sudah lengkap bicara solar energy, ada PLTS. Namun, tantangannya tenaga surya belum bisa jadi base load. Paling handal sebenarnya masih dari PLTU. Tetapi sekarang ini didorong untuk ke energi hijau,” imbuhnya.
Persoalan lainnya, lanjut Arya, ialah ketersediaan pasar yang siap menampung dan mengolah produk hasil smelter.
“Ketersediaan market penting, jangan membangun saja tetapi siapa yang mau beli, end user, industri juga atau langsung ke konsumer,” ujarnya.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif mengakui, saat ini kendala paling utama dalam hilirisasi di Indonesia ialah pendanaan dan penguasaan teknologi. Kedua masalah ini saling berkelindan karena smelter membutuhkan teknologi canggih yang notabene sangat mahal.
“Kita belum punya teknologi untuk smelter. Kita membayar sangat mahal untuk itu,” ujarnya.
Sampai saat ini, smelter-smelter yang ada di Indonesia menggunakan teknologi dari luar negeri. Misalnya saja smelter nikel mayoritas dari China. Hanya beberapa saja dari negara lain yakni Canada dan Jepang.
Baca Juga: Laba Bersih Medco Energi Merosot, Begini Rekomendasi Saham MEDC dari Analis
Sejauh ini, lanjut Irwandy, sejatinya sudah banyak penelitian yang dilakukan di Indonesia seperti di Tekmira dan Universitas, namun baru sebatas skala laboratorium atau pilot project.
“Ini yang pertama kekurangan kita, manufaktur harus dikembangkan, harus ada kebijakan bersama antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM,” kata Irwnady.
Direktur Utama PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Alexander Barus menyatakan, pemerintah diharapkan bisa memperbesar dana riset dan pengembangan (research and development/R&D) di Indonesia.
Saat ini pemerintah telah memiliki Politeknik Industri Logam Morowali yang didirikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja industri yang kompeten. Penyediaan lahan seluas sekitar 30 Ha dilakukan oleh PT IMIP serta penyiapan bangunan fisik dan peralatan oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News