Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
Persoalan lainnya, lanjut Arya, ialah ketersediaan pasar yang siap menampung dan mengolah produk hasil smelter.
“Ketersediaan market penting, jangan membangun saja tetapi siapa yang mau beli, end user, industri juga atau langsung ke konsumer,” ujarnya.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif mengakui, saat ini kendala paling utama dalam hilirisasi di Indonesia ialah pendanaan dan penguasaan teknologi. Kedua masalah ini saling berkelindan karena smelter membutuhkan teknologi canggih yang notabene sangat mahal.
“Kita belum punya teknologi untuk smelter. Kita membayar sangat mahal untuk itu,” ujarnya.
Sampai saat ini, smelter-smelter yang ada di Indonesia menggunakan teknologi dari luar negeri. Misalnya saja smelter nikel mayoritas dari China. Hanya beberapa saja dari negara lain yakni Canada dan Jepang.
Baca Juga: Laba Bersih Medco Energi Merosot, Begini Rekomendasi Saham MEDC dari Analis
Sejauh ini, lanjut Irwandy, sejatinya sudah banyak penelitian yang dilakukan di Indonesia seperti di Tekmira dan Universitas, namun baru sebatas skala laboratorium atau pilot project.
“Ini yang pertama kekurangan kita, manufaktur harus dikembangkan, harus ada kebijakan bersama antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM,” kata Irwnady.
Direktur Utama PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Alexander Barus menyatakan, pemerintah diharapkan bisa memperbesar dana riset dan pengembangan (research and development/R&D) di Indonesia.
Saat ini pemerintah telah memiliki Politeknik Industri Logam Morowali yang didirikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja industri yang kompeten. Penyediaan lahan seluas sekitar 30 Ha dilakukan oleh PT IMIP serta penyiapan bangunan fisik dan peralatan oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News