Reporter: Leni Wandira | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan mandatori penggunaan bahan bakar campuran etanol 10% atau E10 sebagai bagian dari transisi menuju energi rendah karbon.
Langkah ini disambut positif oleh kalangan industri otomotif, meski sejumlah tantangan teknis masih perlu diantisipasi, terutama dari sisi infrastruktur dan edukasi konsumen.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu menilai, kesiapan industri otomotif nasional terhadap rencana penerapan BBM E10 tergolong progresif.
Baca Juga: Pertamina Klaim Produk Pertalite Tak Mengandung Etanol
Sebab, sebagian besar kendaraan baru yang diproduksi di dalam negeri sudah memiliki mesin yang kompatibel dengan bahan bakar beretanol.
“Mobil-mobil baru yang dirakit di Indonesia sudah comply dengan BBM E10. Namun perlu diingat, kendaraan lama pra-2010 yang masih mendominasi sekitar 60% populasi kendaraan di jalanan Indonesia perlu dilakukan upgrade pada komponen tertentu seperti selang dan seal agar lebih tahan terhadap sifat higroskopis etanol,” ujar Yannes kepada Kontan.co.id, Rabu (8/10/2025).
Menurut Yannes, penyesuaian teknis tidak hanya berlaku pada kendaraan, tetapi juga pada infrastruktur penyimpanan BBM di SPBU.
Tangki bawah tanah dan pipa distribusi perlu dilengkapi stabilizer pengikat air untuk menjaga homogenitas campuran etanol dalam bensin.
“Pertamina perlu melakukan audit material dan retrofit bila perlu pada seluruh tangki, pipa, dan dispenser di depot maupun SPBU agar tahan terhadap etanol, disertai SOP baru untuk penerimaan, penyimpanan, dan distribusinya,” lanjutnya.
Baca Juga: Mandatori Bensin Campuran Etanol 10%, Ini Persiapan Pertamina
Dari sisi industri otomotif, Yannes menilai para produsen kendaraan sudah membaca arah kebijakan energi pemerintah yang kini lebih realistis dalam mengurangi emisi karbon.
Pemerintah tidak lagi hanya fokus pada kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV), tetapi juga membuka ruang bagi solusi transisi seperti bahan bakar bioetanol.
“Pendekatan pemerintah sekarang lebih luwes dan realistis. Mandatori E10 ini bisa menjadi jembatan menuju energi baru dan terbarukan tanpa mengguncang pasar otomotif yang masih sangat bergantung pada kendaraan berbahan bakar konvensional,” jelasnya.
Agar implementasi kebijakan ini berjalan mulus, Yannes menekankan pentingnya koordinasi lintas pemangku kepentingan antara pemerintah, Pertamina, dan industri otomotif.
Ia bahkan menyarankan pembentukan task force nasional untuk mengawal masa transisi, termasuk mitigasi risiko kerusakan mesin dan kejelasan tanggung jawab garansi kendaraan.
“APM perlu menerbitkan daftar resmi kendaraan yang kompatibel dengan E10, membuka hotline teknis untuk bengkel, serta menggelar pelatihan bagi teknisi agar siap menghadapi perubahan karakter bahan bakar. Labelisasi SPBU juga harus dibuat seragam agar konsumen mudah memahami jenis BBM yang digunakan,” tutur Yannes.
Baca Juga: Campuran Etanol untuk Bensin akan Wajib! Negara Ini Sudah Jalankan Karena Lebih Hijau
Ia juga menyoroti pentingnya kampanye edukasi publik secara nasional oleh Kementerian ESDM, KLHK, dan Pertamina untuk menjelaskan manfaat, batasan, serta praktik terbaik penggunaan E10.
“Edukasi publik harus menjadi prioritas agar tidak muncul kebingungan atau misinformasi seperti yang terjadi pada awal kebijakan biodiesel dulu,” tegasnya.
Dengan kesiapan teknis industri otomotif dan dukungan kebijakan yang terkoordinasi, Yannes optimistis program E10 berpotensi memperkuat fondasi transisi energi nasional tanpa menekan daya beli konsumen.
“Kalau dijalankan bertahap dengan pilot project yang terukur, saya yakin E10 bisa menjadi momentum penting menuju industri otomotif yang lebih hijau dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Selanjutnya: Dapat Suntikan Modal dari Danantara, Begini Prospek Garuda Indonesia (GIAA)
Menarik Dibaca: Urutan Zodiak yang Paling Keras Kepala, Taurus Memimpin di Posisi Pertama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News