Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Maraknya kasus kepailitan yang menimpa pada sejumlah perusahaan pengembang properti nasional menambah persoalan baru di tengah masa pandemi Covid-19.
Industri properti yang tengah berjuang untuk bangkit dari anjloknya penjualan terpaksa harus menghadapi persoalan serius yang dipicu oleh terjadinya kasus kepailitan.
Ketua Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia Erwin Kallo mengatakan, maraknya kasus kepailitan menjadi lonceng bahaya yang dampaknya bisa merugikan banyak pihak.
"Perlindungan terhadap konsumen dan developer properti perlu menjadi prioritas karena acap kali kasus pailit justru ditunggangi oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan tertentu," ujar Erwin dalam diskusi virtual bertajuk "Pailit di Industri Properti, Siapa Untung Siapa Rugi”, Jumat (18/9).
Baca Juga: Rentfix luncurkan fitur jual beli properti
Menurut Erwin, konsumen properti merupakan pihak yang paling dirugikan jika terjadi kasus pailit. Pasalnya, konsumen bukan kreditur preferen sehingga pengembalian dana kepada konsumen merupakan tahap terakhir setelah semua pembayaran kepada pihak-pihak lain telah dilakukan.
Karena itu, konsumen mau tidak mau harus mencegah terjadi pailit dalam rapat kreditur dengan menggunakan hak suara.
Sementara pihaknya yang paling diuntungkan dari kasus pailit menurutnya adalah oknum, para distressed investor dan tentu saja kurator. Karena kurator langsung mendapatkan bagian 7% di depan, apa pun hasil akhir kepailitannya.
Dengan kondisi tersebut, Erwin sepakat revisi UU Kepailitan dan PKPU wajib diakselerasi oleh Pemerintah dan DPR, revisi UU Kepailitan dan PKPU diharapkan mampu menjaga dan melindungi industri properti termasuk konsumen dan developer dari ulah para oknum.
Sementara praktisi hukum dari Hermawan Juniarto & Partners Cornel B Juniarto, menilai undang-undang maupun peraturan tentang
kepailitan ibarat pisau bermata dua. Ia mencontohkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
"Keduanya secara prinsip merupakan payung hukum bagi para pelaku usaha dan pemangku kepentingan yang mengatur tata cara atau mekanisme penyelesaian kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian atau transaksi," jelasnya.
Baca Juga: Berburu properti murah lewat lelang KPR
Namun sebagai pijakan hukum, lanjut Cornel, UU Kepailitan dan PKPU telah mengalami beragam ujian, khususnya berkaitan dengan tingkat efektivitasnya sebagai sumber hukum dalam penyelesaian kewajiban antara kreditur dan debitur di masyarakat.
Secara sederhana, kepailitan dikenal sebagai sarana yang dapat digunakan oleh para kreditur untuk memaksa debitur menyelesaikan kewajibannya, sementara sebaliknya PKPU merupakan sarana yang dapat digunakan bagi debitur untuk menyelamatkan usahanya dari ancaman kebangkrutan.
“Namun kenyataannya, dalam beberapa kasus, UU kepailitan dan PKPU justru digunakan oleh debitur sebagai sarana untuk menghindari pemenuhan kewajibannya terhadap para kreditur,” tegas Cornel.
Bagi perusahaan terbuka, Cornel menyoroti beberapa aspek kepatuhan hukum yang wajib dilakukan apabila mendapat gugatan pailit dari krediturnya, atau ketika mengajukan kepailitan sukarela.
Secara prosedur, debitur dimungkinkan mengajukan kepailitan sukarela karena sudah diatur dalam UU Kepailitan dan PKPU. Kepailitan sukarela diperuntukkan bagi debitur yang secara sadar paham bahwa perusahaan berada dalam keadaan insolvent atau tidak memiliki dana untuk melunasi utang.
Mereka secara sukarela mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya sendiri dengan tujuan agar melalui Pengadilan Niaga, seluruh kewajibannya kepada kreditur dapat diselesaikan.
Menurutnya, kepailitan sukarela seharusnya bukan merupakan sarana bagi debitur untuk menghindari penyelesaian kewajibannya kepada kreditur ketika dalam keadaan solvent.
Namun, Cornel mencatat ada beberapa kasus yang ditengarai merupakan kepailitan sukarela yang tujuannya justru untuk menghindari penyelesaian kewajibannya kepada krediturnya.
Baca Juga: REI: Sektor properti butuh dukungan pemerintah di tengah pandemi
“Kepailitan semu semacam ini jelas merupakan antitesis dari tujuan kepailitan sukarela yang diatur di dalam Undang-Undang Kepailitan,” tegasnya lebih lanjut.
Di sisi lain, Cornel juga mencermati adanya fakta bahwa PKPU yang pada dasarnya ditujukan sebagai sarana bagi debitur untuk merestrukturisasi hutangnya kepada kreditur melalui Pengadilan Niaga, malahan digunakan oleh debitur nakal untuk menghindari kewajibannya.
Modus lainnya yakni sengaja digunakan oleh distressed investors untuk mendapatkan aset suatu perusahaan yang mengalami masalah keuangan dengan harga yang murah.
Developer yang digugat pailit atau PKPU jelas mengalami kerugian dari berbagai sisi, termasuk materiil hingga runtuhnya kepercayaan pasar. Padahal, acap kali gugatan pailit tidak selalu mencerminkan kondisi riil dari perusahaan, tetapi lebih karena ulah oknum yang ingin menunggang kesempatan.
Selain kerugian bagi developer properti, permasalahan pailit juga bisa merugikan dan berdampak signifikan pada konsumen. Akibatnya konsumen harus melalui jalan berliku nan panjang untuk mendapatkan kepastian haknya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News