Reporter: Ratih Waseso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) bidang pelayaran yang merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja berencana mengatur terkait perluasan kegiatan usaha pelayaran melalui keagenan dinilai akan mengganggu industri pelayaran domestik.
Pakar Kebijakan Publik Agus Pambagio menyoroti pasal 44 yang ada pada RPP bidang pelayaran UU Cipta Kerja tersebut. Agus menilai aturan antara agen umum dan pemilik kapal sedikit aneh.
Ada yang tidak berimbang antara keduanya, di mana agen umum yang tidak perlu memiliki kapal dan hanya perlu berkantor kecil. Sedangkan pemilik kapal sendiri memerlukan atau memiliki kapal dan memerlukan SDM yang besar.
Baca Juga: Serikat buruh sebut program JKP sebagai sogokan, kenapa?
"Sehingga ada titik yang tidak pasti tapi bisnisnya disatukan dan boleh bersaing. Nah ini kan yang agak repot," kata Agus dalam diskusi daring Channel9.id pada Kamis (4/2).
Adapun berdasarkan pasal 1 angka 7 undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran agen umum adalah perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan nasional yang khusus didirikan untuk melakukan usaha keagenan kapal yang ditunjuk oleh perusahaan angkutan laut asing untuk mengurus kepentingan kapalnya selama berada di Indonesia.
Agus melanjutkan, agen umum hanya diperbolehkan melakukan administrasi dan sebagainya. Namun agen umum seharusnya tidak boleh mencari muatan untuk kapal.
"Kalau bisa mencari muatan kan, eh ke sini muat kapal ini, muat kapal sana atau dia agen sebuah pelayaran internasional oke Anda masuk ke sini, supaya dia tidak terlalu bertele-tele ijinnya dari negara lain Anda pakai bendera Indonesia atas nama si agen. Masuk dia sebagai kapal Indonesia dapat muatan dicariin muatan lah kalau gitu ya kapal Indonesia mati," jelasnya.
Maka dari hal tersebut Agus menegaskan perlu adanya upaya untuk memperbaiki RPP tersebut agar kembali ke aturan sebelumnya. "Agen ya agen, tidak boleh mencari muatan," kata Agus.
Melihat dari isi RPP UU Cipta Kerja Agus khawatir jika marwah dari UU Cipta Kerja tidak seperti yang di cita-citakan di mana memangkas birokrasi yang dinilai bertele-tele, menghilangkan pungli dan lainnya.
Lebih lanjut Agus menjelaskan baik perusahaan nasional keagenan kapal maupun perusahaan angkutan laut nasional harus mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Baca Juga: Pengamat soroti RPP UU Cipta Kerja sektor perhubungan angkutan laut
Misalnya saja dari jumlah minimal modal disetor jumlah SDM persyaratan pendirian perusahaan dan risiko harus sama mengingat pangsa pasar yang diincar juga sama.
"Saya belum mendengar dari KPPU soal ini karena ini dua bisnis yang berbeda dijadikan satu, tapi kewajibannya berbeda haknya sama karena tidak boleh ada diskriminasi," imbuhnya.
Secara keseluruhan Agus menyebut bahwa harus ada kejelasan dari RPP bidang pelayaran terutama di pasal 44.
Sementara itu, Pengamat Industri Perkapalan Institut Teknologi Surabaya (ITS) Tri Achmadi menyebut, pentingnya kebijakan negara harus melihat transportasi sebagai infrastruktur. Oleh karena itu Tri menekankan bahwa pengaturan kebijakan tidak bisa dibuat seperti pasar bebas.
"Jangan sampai kebijakan itu hadir membuat pertarungan pasar yang bebas semakin bebas jadi to many, lalu nanti fungsi infrastrukturnya sebagai penghubung jadi hilang. Hanya karena regulasi yang tidak mengikuti persyaratan usaha yang sehat," kata Tri.
Baca Juga: Pemerintah rombak ketentuan daftar positif investasi, ini isinya
Maka Tri menambahkan institusi yang membahas regulasi tersebut harus melihat juga dari persyaratan dan aturan dari sebuah persaingan usaha yang sehat.
"Fungsi kita adalah infrastruktur beda dengan negara lain. Jadi kalau langsung merefer ke Hongkong ke Eropa itu komparasi yang salah kepentingan mereka sama kepentingan masyarakat kita akan totally different," jelasnya.
Lebih lanjut Tri mengatakan, industri pelayaran nasional dari pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun lalu di Indonesia disebut terbukti menjamin sektor pengiriman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News