Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai karakteristik proyek pembangkit di Bangladesh bisa jadi berbeda dengan di Indonesia. Menurut Fabby, jika Pertamina jadi mencari pengganti Marubeni, ada sejumlah pertimbangan yang akan ditelaah Pertamina.
Terutama, soal kemampuan dalam pembiayaan dan alokasi risiko yang bisa setara dengan Marubeni. Sebab, reputasi sponsor akan sangat berpengaruh pada proyek-proyek yang pendanaannya bersifat project financing.
Baca Juga: Pertamina-Marubeni-Sojitz pisah, bagaimana nasib PLTGU Jawa-1 dan PLTGU Bangladesh?
"Jadi tidak saja secara teknis, tapi juga leverage untuk proyek itu. Reputasi sponsor juga menjadi faktor penting," kata Fabby.
Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang, sekalipun nantinya dilirik oleh PPI, IPP dari Indonesia akan terlebih dulu melihat detail skema kerjasama yang ditawarkan. "Apabila investasi-nya atraktif pasti consider," kata Arthur.
Mengenai kualifikasi, Arthur meyakinkan bahwa kemampuan IPP Indonesia tidak kalah dari perusahaan bereputasi global. Arthur bilang, saat ini total proyek pembangkit yang ditangani IPP yang bernaung di APLSI sudah mencapai 15.000 MW.
"Secara rekam jejak, sudah banyak proyek yang sudah ditangani IPP," ungkap Arthur.
Di sisi lain, pengamat ekonomi energi UGM Fahmy Radhi mengkritisi pilihan Pertamina untuk melanjutkan proyek pembangkit di Bangladesh. Menurutnya, ketimbang berekspasi ke Bangladesh, sumber daya dan investasi Pertamina bisa diarahkan untuk membantu percepatan proyek 35.000 MW.
"Buktikan dulu performance di dalam negeri. Lebih baik Pertamina fokus di dalam negeri untuk penyelesaian Proyek 35.000 MW ketimbang invest di Bangladesh, kurang worthy," kata Fahmy.
Baca Juga: Sempat disaksikan Jokowi, Kongsi Pertamina & Marubeni bubar di proyek IPP Bangladesh
Asal tahu saja, proyek pembangkit listrik tenaga gas sebesar 1.200 MW ini memiliki payung kerjasama Goverment to Goverment (G to G). Proyek ini merupakan kelanjutan dari nota kesepahaman yang ditandatangani PT Pertamina (Persero) dengan Bangladesh Power Development Board (BPDP) pada 28 Januari 2018 lalu, yang turut disaksikan oleh Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina.
Kesepakatan itu merupakan tindak lanjut dari MoU sebelumnya di sektor energi yang ditandatangani Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI dengan Ministry of Power, Energy and Mineral Resources of the People’s Bangladesh pada 15 September 2017 lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News