kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.035.000   26.000   1,29%
  • USD/IDR 16.445   1,00   0,01%
  • IDX 7.886   84,28   1,08%
  • KOMPAS100 1.105   15,66   1,44%
  • LQ45 799   5,45   0,69%
  • ISSI 270   3,79   1,42%
  • IDX30 414   3,13   0,76%
  • IDXHIDIV20 481   3,65   0,76%
  • IDX80 121   0,81   0,67%
  • IDXV30 133   1,45   1,10%
  • IDXQ30 134   1,23   0,93%

Potensi Indonesia Jadi Raja Aluminium Dunia Mampu Produksi 2 Juta Ton Alumina


Rabu, 03 September 2025 / 15:52 WIB
Potensi Indonesia Jadi Raja Aluminium Dunia Mampu Produksi 2 Juta Ton Alumina
ILUSTRASI. Inalum saat ini tengah mencanangkan pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery 2 (SGAR 2) berkapasitas 1 juta ton per tahun yang ditargetkan beroperasi pada 2028.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi Indonesia menjadi raja aluminium dunia nampaknya terbuka lebar. Bukan tanpa alasan, potensi ini telah didukung dengan adanya kekayaan alam Indonesia, khususnya mineral bauksit dengan jumlah cadangan terbesar ke-4 di dunia.

Melansir data dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki total sumber daya bauksit berupa bijih sebanyak 7.475.842.602 ton (7,48 miliar ton) dengan total cadangannya dalam bentuk bijih sebesar 2.777.981.035 ton (2,77 miliar ton).

Dengan cadangan sebesar ini, Indonesia menduduki peringkat ke empat di dunia, setelah Guinea, Australia, dan Vietnam sebagai pemilik cadangan bauksit terbesar. Sekaligus pemilik cadangan bauksit terbesar di Asia Tenggara.

Adapun bauksit, merupakan bentuk mineral sumber utama untuk memproduksi aluminium. Batuan ini juga mengandung berbagai pengotor, seperti silika, oksida besi, dan titanium dioksida. 

Dengan kayanya sumber daya bauksit, pengelolaan sumber daya mineral yang satu ini menjadi salah satu fokus utama pemerintah, khususnya peningkatan nilai tambah melalui proses hilirisasi.

Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), melalui amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), pemerintah resmi melarang ekspor bijih bauksit mulai 10 Juni 2023.

Kemudian, proses hilirisasi bauksit dilanjutkan kembali di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Yang tercermin dari terbentuknya Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang dipimpin langsung oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.

Di Indonesia, hilirisasi bauksit dimulai dari penambangan bijih bauksit kemudian masuk dalam tahap pemurnian di smelter yang mengubah bauksit menjadi aluminium oksida murni atau alumina sebelum diproses lebih lanjut menjadi logam aluminium melalui proses peleburan. 

Baca Juga: Smelter Aluminium Inalum, Masuk dalam 18 Proyek Hilirisasi yang Diajukan Bahlil

Dalam mendukung proses hilirisasi bauksit, anggota holding BUMN Pertambangan MIND ID, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) tercatat telah menyelesaikan proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Fase 1 di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.

Smelter penghasil alumina, sebagai produk mid stream hilirisasi bauksit ini, telah selesai pada kuartal keempat 2024, dan mencapai produksi penuh pada kuartal pertama 2025. Adapun, nilai investasi adalah sebesar US$ 900 juta atau setara dengan Rp 13,96 triliun.

Dan dengan dibangunnya pabrik pemurnian ini, Inalum, melalui perusahaan patungan dengan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), yaitu PT Borneo Alumina Indonesia (PT BAI), membuat Indonesia dapat memproduksi 1 juta ton alumina per tahun dengan kebutuhan bahan baku 3,3 juta ton bauksit per tahun.

Tak berhenti sampai disitu, Inalum saat ini tengah mencanangkan pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery 2 (SGAR 2) berkapasitas 1 juta ton per tahun yang ditargetkan beroperasi pada 2028.

"Dengan tambahan ini, total kapasitas alumina INALUM akan mencapai 2 juta ton per tahun," ungkap Direktur Pengembangan usaha INALUM, Arief Haendra kepada Kontan, Rabu (03/09/2025).

Tidak berhenti pada produk mid stream, Inalum juga telah memiliki pabrik pemurnian atau smelter yang dapat mengubah alumina menjadi aluminium.

Smelter aluminium pertama Inalum yang terletak di Kuala Tanjung, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara memiliki kapasitas produksi mencapai 275 ribu ton per tahun, dengan target produksi naik menjadi 300.000 ton pada 2026.

Inalum kemudian kembali membidik peningkatan produksi aluminium mereka. Target yang cukup ambisius untuk membangun New Aluminium Smelter 2, kali ini dekat dengan tambang bauksitnya yaitu di Mempawah.

Baca Juga: MIND ID Genjot Produksi Aluminium Nasional Jadi 900.000 Ton per Tahun pada 2029

"New Aluminium Smelter 2 berkapasitas 600 ribu ton. Dengan tambahan ini, total kapasitas aluminium INALUM akan mencapai 900 ribu ton per tahun," ungkap Arief.

Terkait ekspansi ini, Head of Corporate Communications INALUM, Utrich Farzah menambahkan bahwa pemilihan lokasi smelter aluminium kedua bukan tanpa alasan. Inalum ungkap dia telah memperhitungkan kesediaan bahan baku dan kemampuan pemenuhan listrik dalam proses pemurnian.

"Kita harus membangunnya di Mempawah, karena di situlah ada bahan bakunya, dan agar listriknya juga bisa terpenuhi," ungkap Farzah.

Dampak Hilirisasi Bauksit Inalum pada Daerah dan Negara

Mempawah, sebagai wilayah dari tambang bauksit, dua smelter alumina dan kedepannya, satu smelter aluminium Inalum berdiri, mengalami peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dengan proyek-proyek hilirisasi bauksit ini.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, laju pertumbuhan ekonomi Mempawah meningkat dari 4,7% (2022) menjadi 6,62% (2024). Jumlah penduduk miskin menurun dari 5,32% menjadi 4,83% dalam periode yang sama, sementara tingkat pengangguran turun dari 7,48% ke 6,78%.

Hal ini mencerminkan terserapnya tenaga kerja lokal serta tumbuhnya aktivitas usaha di sekitar kawasan proyek. Kontribusi fiskal daerah pun meningkat signifikan, dengan realisasi pajak naik dari Rp36,97 miliar (2022) menjadi Rp70,66 miliar (2024).

"Secara keseluruhan, pembangunan SGAR bukan hanya menghadirkan nilai tambah industri alumina di dalam negeri, tetapi juga menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta memperkuat kemandirian fiskal daerah," ungkap Arief.

Bagi negara, dalam catatan Kontan sebelumnya, sepanjang 2024 Direktur INALUM, Melati Sarnita, mengatakan INALUM telah menyetor pajak dan kewajiban nonpajak sebesar US$70,9 juta atau setara dengan Rp 1,15 triliun.

Baca Juga: Produksi Aluminium Inalum Melejit 27,61% pada 2024, Mencapai 274.230 Ton

Sepanjang tahun lalu, Inalum juga merealisasikan program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) senilai Rp28,09 miliar. Dengan capaian Social Return on Investment (SROI) mencapai 1:8. Program-program tersebut mencakup sektor sosial, ekonomi, dan lingkungan di wilayah operasional perusahaan.

“Dengan dukungan pemegang saham dan seluruh pemangku kepentingan, INALUM optimistismenjadi penggerak utama industri aluminium nasional yang tangguh, berkelanjutan, dan berdayasaing global,” kata Melati dalam keterangan resmi, Selasa (17/06).

Produksi Green Aluminium Pertama di Indonesia

Di Indonesia, Inalum mencatatkan diri sebagai perusahaan yang memiliki green product dan sustainable producer yang dibuktikan dengan produksi aluminium hijau melalui smelter aluminium mereka di Kuala Tanjung, Sumut.

Label ini didapatkan Inalum, dengan pemenuhan sumber energi listrik yang berasal dari pembangkit listrik renewable energy, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Farzah menjelaskan, selama ini sumber energi listrik INALUM sudah berasal dari 2 PLTA yaitu PLTA Sigura-gura dan PLTA Tangga yang telah mulai beroperasi sejak tahun 1982.

"PLTA ini memanfaatkan aliran air sungai Asahan yang berasal dari Danau Toba, menghasilkan listrik dengan kapasitas gabungan maksimum terpasang sebesar 603 MW," kata dia.

Listrik yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Siguragura dan Tangga kemudian dialirkan melalui jaringan transmisi 275 kV sepanjang 120 km, yang terdiri dari 271 tower, dari Paritohan (Toba Samosir) ke smelter aluminium INALUM di Kuala Tanjung (Batu Bara).

Baca Juga: Harga Nikel dan Aluminium Tertekan, Prospek 2025 Masih Menantang

"Jaringan ini memasok listrik untuk kelangsungan produksi di pabrik peleburan aluminium Inalum," tambahnya.

Selain sumber energi, untuk mendukung target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, pabrik smelter INALUM, juga sudah dilengkapi dengan sistem pembersihan gas untuk mengurangi polusi dari gas buang.

"Sistem pembersihan gas buang, seperti gas Hidrogen Fluorida, Sox, NOx, dan partikulat dari pabrik pemanggang Anoda," ungkap Farzah.

Dukungan penurunan emisi juga terlihat dari implentasi  penggunaan bahan bakar gas alam cair atau LNG sebagai pengganti Bio Solar dan LPG.

"Program inovasi ini didasarkan dari kajian Penilaian Siklus Hidup (LCA) yang dilakukan oleh pihak independen yang bertujuan mengurangi dampak Global Warming Potential (Pemanasan Global) dari emisi yang dihasilkan," jelasnya.

Sejauh ini, INALUM juga telah melaksanakan praktik pengelolaan lingkungan best practices dan cleaner production sesuai dengan pedoman ASI, ISO, PROPER, dan ESG global antara lain penurunan emisi gas rumah kaca, efisiensi energi, 3R terutama reduce limbah, serta memastikan pengendalian end of pipe lebih baik dari standar.

Dukungan hilirisasi bauksit dan produksi produk green aluminium juga datang dari MIND ID sebagai holding company, Corporate Secretary MIND ID, Pria Utama, menegaskan bahwa perusahaan konsisten menjalankan peran strategis sebagai penggerak utama hilirisasi sektor industri pertambangan nasional.

“Hilirisasi adalah mandat yang menjadi pedoman dalam setiap inisiatif strategis MIND ID. Bersama seluruh Anggota, kami berkomitmen memastikan bahwa setiap program hilirisasi memberikan manfaat maksimal bagi pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Salah satu bentuk hilirisasi mineral yang tengah dijalankan adalah peingkatan nilai tambah bauksit menjadi aluminium. Seluruh rantai nilai tersebut mampu menciptakan dampak ekonomi yang besar di dalam negeri.

Sebagai gambaran, 1 ton bauksit yang bernilai sekitar US$40 dapat meningkat menjadi US$575 dalam bentuk alumina, dan kembali melonjak menjadi US$2.700 per ton saat telah berbentuk aluminium.

“Dengan memperkuat rantai pasok aluminium ini, kami percaya dampaknya akan signifikan. Tidak hanya bagi ekonomi nasional, tetapi juga bagi daerah-daerah yang akan menikmati pertumbuhan yang lebih merata dan berkeadilan,” tutupnya. 

Baca Juga: MIND ID Ungkap Potensi Kerja Sama dengan Arab Saudi Sektor Aluminium

Selanjutnya: Hewan Peliharaan Dijarah Saat Aksi Massa, Bagaimana Pet Insurance di Indonesia?

Menarik Dibaca: Deretan Promo Harpelnas 2025 dari Kawan Lama Group, Diskon hingga 80%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
BOOST YOUR DIGITAL STRATEGY: Maksimalkan AI & Google Ads untuk Bisnis Anda! Business Contract Drafting

[X]
×