Reporter: Filemon Agung | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memanasnya hubungan Amerika Serikat dan China dinilai menjadi peluang bagi sejumlah negara dalam menjaring investasi baru relokasi industri asal Negeri Tirai Bambu.
Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia Sanny Iskandar menjelaskan, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dan kebijakan tarif tinggi terhadap China berpotensi mengulang kondisi perang dagang pada 2018-2019 silam. Kondisi ini mengakibatkan banyak pabrikan asal China merelokasi industrinya ke negara lain.
"Beberapa negara yang dianggap sebagai alternatif utama bagi relokasi industri manufaktur dari China saat ini adalah negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur yang kini mulai menjadi pemain global di sektor kawasan strategis, terutama sebagai alternatif dalam rantai pasok supply chain," kata Sanny kepada Kontan, Senin (10/2).
Baca Juga: Himpunan Kawasan Industri (HKI) Beberkan Peluang dan Tantangan Tahun Depan
Sanny menjelaskan, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjaring investasi baru dari China. Meski demikian, Indonesia masih perlu memperbaiki sejumlah aspek untuk bisa meningkatkan daya saing dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Regulasi yang kompleks, biaya logistik tinggi hingga tumpang tindih perizinan antara kementerian dan lembaga disebut masih menjadi tantangan utama dalam menjaring investasi manufaktur di Indonesia.
"Indonesia memiliki potensi besar untuk menarik investasi relokasi, mengingat prospek akan peluang pasar dalam negeri yang besar serta sumber daya alam yang melimpah. Namun, dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, Indonesia masih tertinggal dalam menarik investasi manufaktur besar dari relokasi China," jelas Sanny.
Baca Juga: Wacana Relokasi Pabrik China ke Indonesia, Ini Kata Himpunan Kawasan Industri (HKI)
Sanny melanjutkan, Pemerintah Indonesia perlu melakukan penyederhanaan regulasi. Secara khusus, implementasi kebijakan Omnibus Law dan beragam aturan turunannya dinilai perlu untuk diperbaiki. Hal ini untuk memastikan proses birokrasi berjalan lebih efisien, transparan, cepat dan tidak berbelit-belit.
"Seperti masalah kebijakan tata ruang, izin-izin pertanahan, persetujuan Amdal yang sangat lama dan tidak transparan," sambung Sanny.
Selain itu, Pemerintah Indonesia dituntut untuk dapat menjaga iklim investasi dengan memberikan kepastian hukum bagi calon investor.
Pekerjaan rumah lainnya yakni peningkatan infrastruktur untuk mendorong utilisasi dan menjamin konektivitas. Hal ini diperlukan untuk menekan biaya logistik di Indonesia yang saat ini lebih mahal ketimbang Vietnam dan Thailand.
Dukungan lainnya yakni kepastian pasokan energi khususnya penerapan harga gas murah bagi industri, ketersediaan infrastruktur hingga dukungan insentif fiskal dan non fiskal.
"Perlu juga memperkuat ekosistem industri. Salah satunya dengan mengembangkan kawasan industri yang sudah menggunakan infrastruktur digital dan ramah lingkungan (smart-green industrial estate)," pungkas Sanny.
Baca Juga: Ini 6 Sektor Bisnis yang akan Dominasi Ekspansi Lahan Industri Tahun 2025
Selanjutnya: Program 3 Juta Rumah Berpotensi Kerek Utilisasi Industri Keramik
Menarik Dibaca: Promo Kartu Kredit BCA, Diskon hingga Rp 300.000 di SEEK Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News