Reporter: Muhammad Julian | Editor: Tendi Mahadi
Selain itu, Aryo mengatakan bahwa pihaknya juga telah melakukan kajian mandiri dengan cara melakukan scan atau foto toraks untuk membandingkan kondisi paru-paru pengguna rokok elektrik dengan rokok konvensional. Hasilnya, asosiasi menyimpulkan bahwa paru-paru pengguna rokok elektrik memiliki kondisi yang lebih sehat dibanding perokok konvensional.
Selain itu, Aryo juga mempertanyakan temuan pemerintah yang menyimpulkan adanya kenaikan penggunaan rokok elektrik oleh anak berusia 10-18 tahun dari yang semula 1,2% menjadi 10,9% dalam dua tahun terakhir.
Pasalnya, data internal yang dimiliki oleh asosiasi menunjukkan bahwa mayoritas pembeli rokok elektrik masih berasal dari pengguna berusia 20-30 tahun. Sisanya, pembeli rokok elektrik lebih banyak berasal dari pengguna yang berusia 18-23 tahun. Sementara itu, pembeli berusia di bawah 18 tahun berada di bawah 10% dari total pembeli.
Sementara itu, perihal penyalahgunaan essens atau liquid rokok elektrik, Aryo menilai bahwa pelarangan atau pembatasan rokok elektrik bukan merupakan solusi yang tepat untuk menekan angka peredaran NAPZA.
Baca Juga: Kemenko PMK: Regulasi Vape ditargetkan rampung akhir 2020
Aryo mengatakan bahwa, rokok elektrik sejatinya hanyalah merupakan alat yang bisa disalahgunakan untuk mengedarkan NAPZA sama halnya dengan benda-benda lain seperti misalnya botol mineral maupun rokok konvensional.
“Yang masalah itu kan sebenarnya kenapa narkobanya itu bisa ada di Indonesia, kalau narkobanya tidak ada juga tidak mungkin dipakai di sini” tutur Aryo kepada Kontan.co.id (11/11).
Meski demikian, Aryo mengatakan bahwa risiko penyalahgunaan ataupun penjualan rokok elektrik kepada anak di bawah umur tidak luput dari perhatian asosiasi. Oleh karenanya, APVI secara aktif terus melakukan pengawasan dalam bentuk inspeksi secara acak atau random checking serta menyediakan layanan hotline pengaduan.