Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Merujuk hasil survei rokok ilegal yang dilakukan tahun 2020, jumlah rokok ilegal yang beredar mencapai 4,86% dari total peredaran rokok. Jumlah ini meningkat dari tahun 2019 yang sebesar 3%.
Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (GAPERO) Surabaya, Sulami Bahar berpendapat bahwa rokok ilegal menjadi penyebab kerugian pendapatan negara sekaligus penghambat berkembangnya industri rokok nasional.
Data resmi Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa kerugian negara akibat Barang Hasil Penindakan (BHP) rokok ilegal diperkirakan mencapai Rp 339,18 miliar per November 2020. Nilai ini meningkat drastis dibandingkan tahun 2019 sebesar Rp 247,64 miliar.
Baca Juga: Menghadapi kenaikan cukai, begini rekomendasi saham rokok
“Maraknya peredaran rokok ilegal di Indonesia tak lepas dari harga rokok yang dianggap semakin mahal di pasaran. Harga rokok terus melambung dari tahun ke tahun seiring tarif cukai yang meningkat,” kata Sulami dalam keterangannya, Senin (25/1).
Sulami mengungkapkan tarif cukai rokok sendiri mengalami kenaikan sebesar 12,5% di tahun 2021. Selain itu, klasifikasi tarif cukai yang semakin disederhanakan juga menyebabkan produsen rokok golongan II dan III tidak mampu bersaing, sehingga mengurangi produksi rokok untuk masyarakat kelas menengah dan bawah, khususnya di daerah non-ibukota.
Menurut Sulami Bahar, peredaran rokok ilegal di Indonesia selama ini sudah sangat mengakar, sehingga perlu penanganan yang masif dan sistematis dalam menyelesaikan masalah ini. Terlebih, dampak dari rokok ilegal ini merugikan banyak pihak. “Ada masyarakat yang terancam dengan efek buruk rokok ilegal, serta kami para pelaku industri dan petani yang mengalami ketidakadilan persaingan di pasar,” katanya.
Merujuk kajian GAPERO, tingkat rokok ilegal di pasar telah naik pada tahun 2020 menjadi 4,86% dari posisi 2019 di level 3%. Menurutnya, akan terjadi percepatan pertumbuhan rokok ilegal di pasar domestik pada 2021. "Kalau melihat lapangan, saya prediksi persentase rokok ilegal bisa jadi 6%-8%,” katanya.
Baca Juga: Cukai rokok segera naik, ini rekomendasi saham GGRM, HMSP, RMBA & WIIM
Ekonom senior INDEF, Enny Sri Hartati berpandangan, kenaikan cukai hasil tembakau yang eksesif dan affordability yang menurun, maka potensi kenaikan rokok ilegal cukup tinggi.
“Makanya sebelum pandemi Covid-19 target tahun 2020 terjadi penurunan untuk rokok ilegal sekitar 3,09%, tapi hasil kajian dari UGM rokok ilegal naik lagi 4,86%, dan ini masih catatan karena rokok ilegal berdasarkan hasil penindakan, yang belum ditindak mungkin bisa lebih dari 4%,” kata Enny.
Enny mengatakan kenaikan CHT korelasinya dengan rokok ilegal tidak hanya dialami oleh Indonesia. Di Malaysia peredaran rokok ilegal ketika terjadi kenaikan cukai yang eksesif, maka kenaikan rokok ilegalnya semakin tinggi. Tapi bila kenaikan cukainya tidak terlalu eksesif, maka peredaran rokok ilegalnya juga tidak terlalu tinggi. “Di Malaysia, kerugiannya sampai 2016 kalau dikonversi ke rupiah sekitar 13 triliun,” imbuhnya.
Demikian juga di Pakistan. Dari 2013 sampai 2016 sebesar 87% karena kenaikan cukainya lebih tinggi 2 kali angka inflasi. Artinya kalau kita kenaikan cukai 12,5% inflasi 2%, itu berapa kali lipat dari inflasi.
“Di Pakistan saja dengan kenaikan 2-4 kali lipat dari inflasi sudah berpotensi meningkatkan rokok ilegal, dan selisih antara rokok legal dan ilegal semakin besar sehingga kerugiannya 24,6 miliar rupe atau sekitar Rp 3 triliun,” tegasnya.
Baca Juga: Sri Mulyani: Jatah laba pemerintah dari LPI bisa lebih dari 30%
Enny melakukan simulasi terkait kerugian negara dari rokok ilegal. Di Indonesia kerugian negara akibat peredaran rokok ilegal jika 2% saja, maka kerugian negaranya mencapai 1,75 triliun. Kalau 5% kerugiannya 4,38 triliun. Kalaupun minimal peredaran rokok ilegal ini bisa ditekan sampai 4% maka kerugiannya hampir 5 triliun.
Sementara, anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno menilai bahwa kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang dilakukan pemerintah di tahun 2021 merupakan hal yang lumrah. Sepanjang kenaikan tersebut disesuaikan dengan kondisi daya beli masyarakat saat ini.
Hanya saja, kata dia, bilamana kenaikan tersebut tidak berpijak pada kondisi riil yang ada atau untuk kepentingan lain, maka hal itu justru akan kontraproduktif.
"Kenaikan yang wajar dapat diterima oleh pelaku industri. Kenaikan yang wajar harusnya pada kisaran tingkat inflasi. Bila dipakai dasar lain, seperti hasrat menambal defisit APBN, ini akan memperberat beban industri dalam menghadapi kesulitan yang sekarang sedang dihadapi akibat pandemi dan resesi," ujar Hendrawan.
Selanjutnya: Pemerintah dirikan LPI, ini tujuannya menurut Sri Mulyani
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News