kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sanksi DMO akan diganti denda, begini komentar asosiasi dan pelaku usaha


Minggu, 29 Desember 2019 / 18:32 WIB
Sanksi DMO akan diganti denda, begini komentar asosiasi dan pelaku usaha
ILUSTRASI. Kementerian ESDM akan merevisi sanksi bagi perusahaan yang tidak bisa memenuhi kebijakan DMO


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan tengah merevisi sanksi bagi perusahaan yang tidak bisa memenuhi kebijakan wajib pasokan batubara dalam negeri alias domestic market obligation (DMO) di tahun depan.

Adapun, persentase DMO untuk tahun 2020 masih dipatok stabil, yakni sebesar 25% dari volume produksi.

Baca Juga: Pemerintah siapkan denda bagi perusahaan batubara yang tak memenuhi DMO di 2020

Dengan adanya revisi ini, sanksi yang dikenakan tak lagi berupa pemotongan kuota produksi di tahun berikutnya, melainkan menjadi denda atau kompensasi yang dibayarkan oleh pelaku usaha yang tidak memenuhi DMO.

Atas revisi sanksi itu, stakeholders batubara buka suara. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengingatkan, pemerintah mesti hati-hati dalam pembuatan aturan dan menerapkan sanksi ini.

Hendra berpendapat, jika sanksi akan diubah menjadi denda, maka harus ada skema dan pengaturan yang jelas. Jika tidak, kata Hendra, maka hal ini akan berpotensi menimbulkan kompleksitas yang menyulitkan pasokan batubara ke dalam negeri.

Kompleksitas tersebut, lanjutnya, juga terkait dengan penentuan nilai denda terhadap beragam spesifikasi kalori batubara yang dimiliki perusahaan.

"Sebagian perusahaan mungkin saja terdorong untuk lebih memilih membayar denda ketimbang memasok (ke domestik). Hal ini juga akan menyulitkan produsen yang produk batubaranya memiliki beragam kualitas, dendanya akan dikenakan ke kualitas (kalori) yang mana?" katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (29/12).

Baca Juga: Rukun Raharja (RAJA) targetkan pendapatan US$ 126,3 juta di tahun 2020

Oleh sebab itu, berkaca dari penerapan sanksi yang selama ini berlaku, Hendra masih belum bisa menilai apakah pergantian skema dan bentuk sanksi DMO ini akan berjalan efektif, atau tidak.

"Sulit untuk menilai apakah skema sanksi berupa pembayaran denda bisa efektif. Karena toh sanksi pemotongan produksi yang diterapkan sebelumnya ternyata juga tidak efektif dalam pelaksanaannya," jelasnya.

Namun, sejumlah produsen batubara berkelas raksasa tampaknya tak ambil pusing dengan pergantian skema dan bentuk sanksi ini. PT Bumi Resources Tbk (BUMI) misalnya, mengaku tak masalah dengan pergantian skema sanksi ini, lantaran yakin, induk usaha dari PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia tersebut bisa memenuhi persentase DMO.

Direktur dan Sekretaris Perusahaan Bumi Resources Dileep Srivastava mengatakan, pihaknya yakin bisa memenuhi kewajiban DMO di tahun 2020 nanti. Apalagi, Dileep memperkirakan permintaan batubara domestik akan sejalan dengan peningkatan produksi yang direncanakan.

Baca Juga: Ginting Jaya Energi tambah aset set rig dan rig up

"BUMI memenuhi kuantitas DMO di tahun 2017 dan 2018, juga on track di 2019. BUMI akan mengikuti aturan di 2020 dan yakin dapat memenuhi persyaratan DMO," kata Dileep ke Kontan.co.id, Minggu (29/12).

Hal senada juga dikatakan manajemen dari PT Adaro Energy Tbk. (ADRO). Head of Corporate Communication ADRO Febriati Nadira menyebut, pihaknya optimistis bisa memenuhi target DMO di tahun depan. Sehingga, perubahan skema dan bentuk sanksi tidak berpengaruh untuk ADRO.

"Kami tetap optimis dengan terus mengeksekusi strategi perusahaan yang dirancang untuk bisnis yang berkelanjutan," ungkapnya.

Sementara itu, penjelasan berbeda disampaikan oleh Direktur Keuangan PT ABM Investama Tbk. (ABMM) Adrian Erlangga. Menurutnya, pihaknya memang mendukung adanya perubahan bentuk dan skema sanksi dari yang semula pemotongan kuota produksi.

Baca Juga: Tarif listrik pelanggan 900 VA tak jadi naik tahun depan

Namun, Erlangga menekankan ada sejumlah hal yang harus diperhatikan jika sanksi itu direvisi menjadi pemberian denda. Erlangga berpendapat, denda yang diberlakukan tidak boleh dipatok dengan satu angka tertentu. Menurut Erlangga, sanksi tersebut harus diterapkan secara proporsional berdasarkan jenis spesifikasi kalori yang dimiliki perusahaan.

Erlangga memberikan gambaran, jika harga batubara kalori tinggi berkisar di angka US$ 70-US$ 75 per ton, sementara harga batubara kalori rendah berada di angka US$ 20 per ton, maka menurutnya, nilai dendanya tentu harus berbeda. Jika denda dipatok sama, kata Erlangga, maka hal itu akan sangat merugikan bagi perusahaan batubara yang memiliki kalori rendah.

"Dendanya harus proporsional terhadap kalori, jangan dipatok satu angka. Misalnya denda dipatok US$ 2, itu maknanya berbeda bagi harga kalori rendah dan tinggi. Tidak terjangkau bagi yang kalori rendah," jelasnya.

Pandangan tersebut juga diamini oleh Ketua Umum Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo. Menurutnya, denda harus mempertimbangkan kualitas batubara, tingkat produksi dan besaran DMO yang tidak dipenuhi oleh perusahaan.

Baca Juga: Tak berubah, harga batubara DMO tahun depan tetap US$ 70 per ton

"Mengingat profit per ton tergantung juga dari mining cost, Jadi, besarnya penalti harus terbagi atas parameter kualitas batubara, dan persentasi dari harga. Kalau denda fix (di angka tertentu), menjadi tidak fair bagi perusahaan tambang," terang Singgih.

Lebih lanjut, Singgih mengingatkan bahwa tidak terpenuhinya kewajiban DMO bisa terjadi karena banyak faktor, bukan semata-mata kesalahan perusahaan untuk melanggar.

Ia menjelaskan, bisa jadi kualitas batubara yang dimiliki perusahaan tidak cocok dengan tingkat kalori yang dibutuhkan pembangkit listrik atau industri di dalam negeri. Alhasil, batubara dari perusahaan tersebut tidak dapat terserap pasar domestik.

Selain itu, bisa pula lantaran industri maupun pembangkit listrik PLN atau swasta telah memiliki kontrak jangka panjang. Sehingga, ruang DMO 25% menjadi sempit dan tidak bisa dimanfaatkan oleh semua perusahaan.

Baca Juga: Tarif Listrik Untuk Pelanggan 900 VA Batal Naik

"Implementasi DMO pada dasarnya juga harus dilihat sebagai masalah mata rantai logistik. Jadi ketidakmampuan (memenuhi DMO) bisa saja bukan kesalahan perusahaan," ungkap Singgih.

Sebagai informasi, secara volume, target DMO batubara pada tahun 2020 lebih tinggi dibanding tahun ini. Pada tahun depan, DMO batubara ditargetkan bisa mencapai 155 juta ton, meningkat dari 2019 yang ditargetkan sekitar 128 juta ton.

Dari target tahun 2020 itu, sebanyak 70% atau 109 juta ton dari rencana volume DMO di tahun depan ditujukan untuk PLN. Kemudian diikuti oleh industri pengolahan dan pemurnian sebanyak 11% atau 16,52 juta ton serta industri semen sebesar 10% atau 14,54 juta ton.

Pemanfaatan batubara untuk kebutuhan domestik memang tercatat meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2014, pemanfaatan batubara domestik tercatat masih 76 juta ton. Setahun berselang, volumenya naik menjadi 86 juta ton.

Pada tahun 2016, kembali menanjak menjadi 91 juta ton, dan meningkat ke angka 97 juta ton pada tahun 2017. Sementara pada tahun 2018, pembangkit listrik dan industri domestik telah menyerap 115 juta ton batubara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×