Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memaparkan capaian kinerja 2019 kepada Komisi VII DPR RI. Topik yang menjadi sorotan di antaranya ialah peningkatan temuan kasus penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di tahun lalu, yang diiringi dengan jebolnya kuota solar bersubsidi.
Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa mengatakan, ada 404 temuan kasus penyalahgunaan BBM bersubsidi sepanjang 2019. Jumlah itu meningkat pesat dibanding temuan di 2018 yang berjumlah 260 kasus, maupun pada 2017 yang sebanyak 187 kasus.
"Itu temuan berdasarkan BPH Migas dan Kepolisian, 404 kasus, naik hampir dua kali lipat. (Kasus) ada yang sudah close dan dalam proses di Polri," ujar Fanshurullah, Rabu (12/2).
Baca Juga: Biang kerok bocornya BBM subsidi sepanjang 2019 terkuak, ini dia...
Menurutnya, penyelewengan yang terjadi itu menjadi salah satu penyebab jebolnya kuota BBM bersubsidi jenis solar sebanyak 1,7 juta Kiloliter (KL). Pada tahun lalu, realisasi penyaluran solar subsidi mencapai 16,2 juta KL, padahal kuota solar bersubsidi pada APBN 2019 hanya sebanyak 14,5 juta KL.
Lebih lanjut, Fanshurullah mengungkapkan sejumlah kendala dari sisi regulasi yang menghambat pelaksanaan tugas dan fungsi BPH Migas. Sabagai contoh, ia menyebut terkait pemanfaatan bersama fasilitas pengangkutan dan penyimpanan BBM, BPH migas masih terkendala regulasi lantaran belum adanya aturan teknis sebagai penjabaran dari UU Nomor 22 tahun 2001 alias UU Migas dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2004.
Baca Juga: BPH Migas tak keberatan jika iuran penyaluran dihilangkan untuk bantu tekan harga gas
Selain itu, pelaksanaan lelang ruas transmisi serta Wilayah Jaringan Distribusi (WJD) juga masih terganjal. Sebab, BPH Migas harus terlebih dulu menunggu ditetapkannya revisi Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN).
"Untuk itu, kami mendorong Kementerian ESDM untuk segera menerbitkan regulasi teknis operasional dan revisi RIJTDGBN 2020-2038," ungkap Fanshurullah.
Atas kondisi tersebut, sejumlah Anggota Komisi VII DPR RI pun buka suara. Anggota Komisi VII Ridwan Hisjam misalnya, menyoroti fungsi pengawasan distribusi BBM bersubsidi oleh BPH Migas yang dinilainya tidak efektif.
Ridwan menekankan, indikator kinerja BPH Migas yang utama bukan lah terkait besaran penerimaan dari iuran badan usaha. "Dampaknya jebolnya kuota dan akibatnya beban subsidi dari APBN menjadi meningkat. Sedangkan iuran itu jangan dijadikan patokan kinerja," ungkapnya.
Baca Juga: Anggota DPR ini minta peran aktif Ahok tagih piutang Pertamina ke pemerintah
Berdasarkan rekapitulasi tahun 2019, total penerimaan BPH Migas dari iuran badan usaha sebesar Rp 1,32 triliun. Dari jumlah itu, iuran dari badan usaha BBM sebesar Rp 1,03 triliun atau 78%. Sedangkan iuran dari badan usaha gas sebanyak Rp 285 miliar atau 22% dari total penerimaan.
Lebih jauh, Anggota Komisi VII Falah Amru menyoroti independensi BPH Migas. Sebagai lembaga yang ditunjuk oleh DPR RI, Falah menegaskan bahwa BPH Migas harus bersifat mandiri, tidak boleh bergantung kepada Kementerian ESDM.
Hal tersebut terlihat dari pelaksanaan tugas dan fungsi BPH Migas yang terkendala lantaran harus menunggu regulasi yang diterbitkan Kementerian ESDM. "Komite BPH Migas kita seleksi di sini (Komisi VII DPR RI), seharusnya bukan menjadi corong pemerintah. Jadi harusnya independen, tidak seolah berada di bawah ESDM," kata Falah.
Baca Juga: Revisi AMDAL Blok Cepu masih temui jalan buntu
Oleh sebab itu, Anggota Komisi VII Hari Purnomo meminta supaya tugas dan fungsi BPH Migas ditinjau ulang. Bahkan, Hari mempertanyakan eksistensi dari BPH Migas yang menurutnya duplikasi dari Direktorat Hilir yang berada di bawah Ditjen Migas Kementerian ESDM.
Untuk itu, Hari mengusulkan supaya BPH Migas bisa diperkuat. Jika tidak, Hari menyarankan agar BPH Migas dilebur ke dalam Ditjen Migas Kementerian ESDM. Opsi lainnya, kata Hari, BPH Migas juga bisa dilebur ke BUMN untuk melengkapi fungsi dari PT Pertamina (Persero).
"Kita perkuat (BPH Migas) kalau memang dibutuhkan. Kalau tidak, ya dilebur saja dengan Ditjen Migas. Sebab itu, eksistensi BPH Migas ini harus dikaji ulang. Ke depan juga bisa saja BPH Migas jadi BUMN yang mengurusi subsidi, kemudian Peramina mengurusi komersial," ungkap Hari.
Menanggapi hal itu, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa mengungkapkan, eksistensi BPH Migas masih diperlukan. Merunut ke belakang, jelas Fanshurullah, keberadaan BPH Migas dan BP Migas yang saat mengatur hulu migas, pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2013.
Baca Juga: Lelang ruas WJD/WNT terganjal rencana induk dari Kementerian ESDM
Namun, Fanshurullah bilang bahwa putusan MK hanya membubarkan BP Migas, sedangkan BPH Migas justru perlu dikuatkan. "BP Migas dan BPH Migas pada 2013 digugat ke MK untuk dibubarkan. BP Migas dibubarkan, tetapi BPH Migas justru dikuatkan. Itu hasil MK, supaya jangan a historis," sebutnya.
Fanshurullah pun menyebut, dalam draft revisi UU Migas yang sudah dibahas di Badan Legislasi (Baleg) dan disahkan di parpurna, keberadaan BPH Migas masih dipertahankan. "Di draft itu (revisi UU Migas), sudah jelas masih ada BPH Migas. Tinggal kami tampung masukan-masukan tadi, dan akan kami coba menguatkan," tandas Fanshurullah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News